“Apa
ini?” tanya Harry.
“Its
time traveler,” jawab Dumbledore.
“Kau bisa pergi kemanapun kau mau, di era kapanpun kau mau.”
“Benarkah?
Kemanapun? Bukankah setiap tempat bisa menyimpan sihirnya sendiri sehingga kita
tidak bisa sembarangan datang?”
“Ini
berbeda, kau bisa datang kemana dan kapanpun. Tapi, ada syaratnya, kau tidak
boleh terlihat orang lain, karena kau bisa merubah sejarah atau garis hidup
seseorang pada saat itu juga, it’s
forbidden. Kau hanya boleh memperhatikan dan mendengar.”
“Ah,
I see.”
“Time
traveller ini dibuat untuk pembelajaran dari masa lalu, sejarah, manusia purba,
budaya, dan kemungkinan-kemungkinan hal besar yang akan terjadi dimasa depan
yang bisa menyebabkan kepunahan, hingga kita bisa mengantisipasinya dimasa
kini.”
Harry
memperhatikan time traveller yang bentuknya seperti pintu itu. Sisinya berhias
ornamen-ornamen cantik berwarna emas. Sesekali dari area pintu itu, keluar
sinar biru terang yang menyerupai cambuk, bergerak halus dan indah.
“Karena
kau sudah berjasa dalam melawan Voldemort, kau mendapat hadiah, satu kali
perjalanan melalui time traveler ini, kemanapun kau mau,” lanjut Voldemore
mengakhiri ucapan dengan senyum menggoda, ia tahu Harry akan tertarik.
Harry
menelan ludah, pikirannya langsung sibuk membayangkan jutaan tempat, jutaan
macam budaya dan warna yang akan ia datangi nanti. “Bolehkan aku membawa
Hermione dan Ron?”
Dumbledore
mengangguk lembut, ia begitu menyayangi Harry sampai-sampai ia begitu senang
melihat luapan semangat Harry. “Sekali perjalanan saja, tapi kau bisa mengajak
siapapun yang kau mau.”
Harry
tersenyum girang, perjalanan macam ini tentu tidak akan kumplit tanpa kedua
sahabatnya. “Tapi bagaimana aku akan kembali?”
“Its
your journey. Kapanpun kau memutuskan untuk kembali, kau akan kembali.”
“Harry,
kita harus memutuskan dengan bijak tempat seperti apa yang akan kita datangi
nanti,” ucap Hermione, seperti biasa – bersemangat, intimidasi, menguasai, tapi
brilian.
“Aku
masih belum punya ide,” jawab Harry datar ketika itu diruang rekreasi sedang
menghangatkan diri didepan bara api bersama teman-temannya.
“Ke
tempat dimana kita bisa melihat bagaimana Marie Antoinette dipancung,
kecantikannya, kekayaannya, kemegahan istananya, perselingkuhannya...”
Brash! Sebuah kertas yang sudah diremas
terlempar kewajah Ron ketika ia berkhayal bisa melihat Marie Antoinette. Ron
lalu menatap protes Hermione yang baru saja melempar kertas padanya, sayangnya
tatapan Hermione lebih sengit, hingga akhirnya Ron tertunduk menyerah.
“Apa
yang menjadi favoritmu, Harry?” tanya Hermione.
“My favorite would be... tempat dimana
aku bisa melihat kedua orang tuaku.”
Hermione
melempar pandang sedih pada Ron, dan Ron pun berpikiran sama. Mereka berdua
sangat beruntung masih memiliki kedua orangtua, tidak seperti Harry.
“Menyedihkan,
eh? Ketika kita bisa bertemu orang yang sangat kita sayangi, tapi tidak bisa
menyentuh bahkan berkomunikasi dengan mereka. Aku rasa akan lebih menyakitkan.
Jadi, eum.. itu adalah tempat yang ingin aku datangi tapi tidak akan aku
datangi, kecuali mereka benar-benar bisa melihat dan berbicara denganku,”
lanjut Harry.
“Akan
sangat menyenangkan kalau kita bisa pergi ketempat yang hangat,” sela Ron
memandangi bara api sambil menggosok-gosok tangannya, mencoba mengalihkan
kesedihan Harry.
“Tempat
dengan budaya yang kaya, dan bersejarah,” ucap Harry melengkapi.
“Unik,”
Hermione menambahkan. “A-ha!” ia berteriak keras membuat Harry dan Ron kini
benar-benar menatapnya, meskipun itu adalah tatapan aneh.
“Indonesia!”
Harry
dan Ron, “Eh?”
Harry,
Hermione, dan Ron berputar-putar dalam lingkaran waktu setelah mereka memasuki
time traveller.
“Aku
rasa aku akan muntah,” teriak Ron.
“Shut
up, Ron!” dan akan selalu mendapat protes dari Hermione.
Perjalanan
itu tidak sampai dua menit, mereka akhirnya terjerembap diatas rumput-rumput
liar, pepohonan yang cukup padat dan besar.
“Dimana
kita?” tanya sebuah suara asing tapi tidak begitu asing. Harry cs saling
bertatap bingung, suara itu bukan suara mereka. Lalu mereka mencari sumber
suara.
“Malfoooy?!”
teriak Harry cs.
“Hey,
kenapa kalian begitu terkejut melihatku?” protes Malfoy. Beberapa helai
rambutnya yang biasanya tersisir rapih kebelakang, jatuh kedepan menghalangi
pandangannya pada Harry cs.
“Apa
yang kau lakukan disini?” tanya Hermione dengan ekspresi keheranan yang
kentara.
“Aku
melihat kalian berbisik seru, jadi aku mengikuti kalian, apalagi setelah
melihat time traveller, aku jadi benar-benar ingin tahu.”
“Demi
jenggot merlin, bagaimana bisa?” sela Ron ketus, bagaimana bisa ada Malfoy
disini? Bagaimana tidak, Malfoy dan keluarganya selalu menghina keluarga Weasley,
mereka seperti musuh bebuyutan. “Ini pasti takdir yang aneh,” gumamnya sambil
menggeleng-geleng kepala.
“Dimana
ini?” tanya Malfoy sambil berdiri dan membersihkan pakaiannya dari tanah yang
menempel.
“Kita
berada di Padang, salah satu nama daerah disebuah negeri bernama Indonesia, ”
jawab Hermione mengikuti Malfoy berdiri. Harry dan Ron pun melakukan hal yang
sama.
“Indonesia?
Tidak pernah dengar. Tempat macam apa itu, dan kenapa disini? Kenapa tidak
Rhoma, kita bisa melihat pertandingan antara manusia dan singa. Atau kenapa kita
tidak pada saat Julius Caesar melancarkan serangan Ke Britania? That’s what I call history,” Malfoy
mengakhiri pertanyaan yang terdengar seperti permintaan paksa, dengan nada yang
dibuat mengerikan.
Hermione
dan Ron memutar matanya sambil melangkah pergi, rasanya malas menimpali ucapan
seorang anak yang menikmati sebuah peperangan. Harry hanya menatap mereka tanpa
ekspresi. Well, bisa dibilang dia sudah sangat terbiasa dengan tingkah Malfoy.
“Hey,
kalian mau kemana?” teriak Malfoy.
Masih
tidak ada jawaban, akhirnya Malfoy mengikuti mereka, masih dengan gerutuan ala
penyihir berdarah murni.
“Kemana
kau membawa kami, Harry?” tanya Ron sambil menyingkirkan alang-alang tinggi
yang menghalangi. Hanya keinginan Harry pribadi yang bisa membawa mereka
ketempat seperti ini.
“Well,
sejak Hermione mangatakan tempat yang penuh sejarah dan kebudayaan, termasuk
tambahan Hermione dari ucapanmu yang menginginkan tempat yang hangat, inilah
tempatnya, tapi aku sama sekali tidak tahu tempat macam apa ini, aku hanya tahu
namanya, Indonesia.”
“Bukankah
menyenangkan?” sela Hermione yang berjalan paling depan. Sejenak Harry
berpikir, ini bukan perjalanan yang ia inginkan, Hermione yang menginginkannya.
Tapi Harry tidak keberatan, dia yakin pilihan Hermione jauh lebih baik daripada
pilihannya karena ia sama sekali tidak bisa berpikir tempat macam apa yang
ingin dia datangi, kecuali tempat yang berhubungan dengan orangtuanya.
“Kita
mendatangi sebuah tempat yang sama sekali belum pernah kita dengar, apalagi
kita kunjungi. Jangan hanya ingin mendatangi Gaul (nama Perancis dahulu), or
Goryeo (nama Korea dahulu), or Rusia, semua informasi tentang negara-negara itu
sudah terlalu umum dan kalian bisa membaca buku untuk tahu lebih banyak
tentangnya.
For the first time ever, Harry, Ron, dan
Malfoy saling menatap dengan pemikiran yang sama. Mereka setuju kalau saran
terakhir dari Hermione itu sangat nggak-mereka-banget, dan lebih tidak mungkin
untuk mendebat Hermione soal yang satu itu, jadi mereka hanya bisa melempar
pandangan aneh saja.
“Kalian
dengar suara itu? Sepertinya kita semakin dekat dengan area penduduk,” ucap
Hermione pelan.
Harry,
Ron, dan Malfoy langsung terdiam dan berkonsentrasi pada pendengaran mereka.
Hermione benar, terdengar suara orang sedang bercakap-cakap. Mereka melangkah
mendekat, dan suara orang-orang itu semakin dekat.
Semakin
lama semakin jelas terdengar, meskipun bahasa mereka jelas berbeda dari bahasa
Inggris, Harry cs bisa tahu sepertinya ada sebuah keributan. Mereka mengintip
diantara alang-alang. Pepohonan ditempat itu luar biasa hijau walaupun tidak
teratur. Hermione menunduk terlebih dahulu, kemudian berbisik kepada dirinya
sendiri, mengeluarkan sihir supaya ia bisa mengerti bahasa setempat dan
keributan macam apa yang sedang terjadi. Percikan sinar keluar dari tongkatnya
menyerbu wajah sampai ke telinga Hermione. Senyumnya mengisyaratkan
keberhasilannya, tapi senyum itu langsung hilang melihat ketiga cowok
disampingnya memandanginya iba, meminta untuk disihir hal serupa.
“Berani-beraninya
kau mengaku sebagai ibuku!” teriak seorang pria dengan topi panjang hampir
menyerupai segitiga yang dibentuk
melingkar menutup kepala.
“Malin,
aku ini ibumu. Ibumuu, nak”, seorang wanita tua berpakaian lusuh mengiba
dihadapan sebuah kereta indah. Dua orang yang nampak seperti seorang pengawal,
menahan wanita tua itu agar dia tidak bisa melangkah lebih dekat ke kereta itu.
“Oh,
wow! Itu adalah kereta yang unik! Kalian lihat itu?” bisik Ron terkagum-kagum
tanpa mendapat jawaban. Kereta itu sangat berbeda dengan kereta Hogwarts,
ukirannya khas mengikuti budaya setempat, lebih kecil, tapi indah dan kokoh.
“Wanita
miskin yang mencoba mencari harta kekayaan dengan mengaku sebagai ibuku? Hey,
wanita tua, kau harus lebih pandai dari itu,” pria yang diam dikereta itu
kembali berteriak.
“Malin,
bagaimana bisa kau melupakan ibumu sendiri?” teriak wanita itu.
“Cih!”
pria bernama Malin itu memerintahkan kusir untuk segera pergi, dua pengawal itu
pun melepaskan wanita itu dengan kasar, lalu bergegas mengikuti kereta itu.
Wanita
itu menangis, menjadikan kain yang menutupi seluruh rambutnya sebagai sapu
tangannya. Orang-orang disekelilingnya menatap iba, beberapa diantaranya datang
mendekati dan berusaha menenangkan.
“Tapi
dia itu benar-benar anakku,” jawab wanita itu masih tetap menangis. Orang-orang
yang menenangkannya sulit mempercayai perbedaan yang sangat jauh itu. Wanita
itu terlihat seperti orang yang kurang mampu, sedangkan pria yang ia teriaki
sebagai anaknya, nampak seperti orang yang bergelimangan harta, istri sang pria
pun cantik menawan.
“Apa
kau benar-benar percaya kalau wanita itu adalah ibunya?” tanya Ron tanpa
mengalihkan pandang dari wanita itu.
“I dont know,” jawab Hermione meskipun
tidak jelas Ron bertanya pada sapa.
“Kasihan
wanita itu,” sela Harry merasa iba. Disaat dia sangat membutuhkan kasih seorang
ibu, seseorang disuatu tempat malah mengakui seorang lainnya sebagai anaknya.
Hermione memandang simpatik pada Harry, sepertinya ia tahu pikiran Harry.
“Apa
dia kurang waras? Mungkin dia kehilangan anak laki-lakinya hingga ia jadi
berhalusinasi melihat laki-laki lain sebagai anaknya?” celetuk Malfoy.
Komentar
yang satu ini masih tetap sinikal seperti biasanya dari seorang Malfoy, tapi
Hermione merasa ucapannya ada benarnya juga, mungkin wanita ini mengalami
kejadian buruk dimasa lalunya.
“Hey,
dia pergi. Ayo kita ikuti dia!” bisik Ron tiba-tiba.
Tanpa
menjawab, semua setuju mengikuti. Mereka membuntuti wanita itu dibalik
semak-semak. Wanita itu berjalan gontai sambil sesekali menyeka air mata yang
masih keluar, dengan kain penutup rambutnya, tangis tanpa suara dari
pertanyaan-pertanyaan yang bermakna kebingungan dan ketidakadilan.
Semakin
lama, wanita itu berjalan semakin menjauhi kota, pepohonan semakin padat, area
yang masih tidak begitu teratur, sampai akhirnya ia sampai disebuah rumah
usang.
“Ada
apa denganmu?” tanya seorang wanita lainnya yang bertubuh gemuk, ketika dia sedang
memberi makan ayam-ayamnya.
“Aku
bertemu Malin, Mi,” jawabnya sambil meneteskan airmata.
Wanita
gemuk yang dipanggil Umi itu terkejut, ia tahu, inilah pertemuan yang
dinanti-nantikan wanita tua malang ini. Ia menyimpan makanan peliharannya dan
berjalan mendekati sang Ibu.
“Kau
bertemu Malin? Astaga, setelah penantian bertahun-tahun akhirnya kau bertemu
dengannya?” tanyanya senang. “Eh, tapi, mana dia sekarang? Dan kenapa kau
terlihat begitu sedih?”
Sang
Ibu mengumpulkan kekuatan untuk menjawab pertanyaan Umi, ia tidak ingin
tangisnya tumpah saat menceritakannya. “Ia tidak mengakuiku sebagai ibunya,”
benar saja, ia langsung menangis tidak karuan.
“Apa?
Apa yang kau katakan? Bagaimana mungkin? Malin seorang anak yang baik.”
“Dia
memang anak yang baik, dulu. Sekarang setelah dia mengenal harta, dia gelap
mata. Ia melupakanku yang sudah melahirkannya, hanya karena aku miskin.”
“Mustahil!”
Umi berteriak jijik mendengar perubahan sifat Malin. Segera saja ia membawa
Sang Ibu menuju rumahnya yang jauhnya hanya beberapa langkah sajaa. Umi segera
menenangkan Sang Ibu.
“Hey,
ternyata pria tadi itu benar-benar anaknya,” bisik Malfoy.
“Ya,
dari percakapan mereka kita bisa tahu, bahwa pria bernama Malin itu pergi
merantau untuk mencari uang, mungkin tadinya untuk ibunya, tapi karena yang ia
dapat ternyata berlebih, ia jadi lupa diri dan melupakan tujuan utamanya,”
balas Hermione yang berpikir dengan cepat.
“Sekarang
dia tinggal dikota sebelah. Entah itu menyakitkan atau tidak mendengar anak
sendiri sudah dekat, tapi juga begitu jauh,” ucap Sang Ibu.
“Kita
harus segera kesana.”
“Untuk
apa?”
“Untuk
meyakinkan Malin bahwa kau adalah ibunya.”
“Tidak
usah diyakinkan. Untuk apa diyakinkan, dia sudah tahu kalau aku ibunya, dia
hanya malu mengakui kalau aku ini ibunya yang miskin,” isak Sang Ibu.
“Umi,
bagaimanapun itu, kita harus mendatangi Malin. Kau tidak bisa hanya diam saja
menerima keadaan terinjak oleh anakmu sendiri. Kita harus mencoba, barangkali
sikap Malin bisa berubah, siapa yang tahu.”
Sang
Ibu tidak yakin dengan ucapan tetangga baiknya ini. Diamnya Sang Ibu adalah
karena ragu, tapi Umi tetangganya ini menganggapnya tanda setuju. Ia segera
menarik tangannya, “ayo, kita pergi sekarang.”
Harry
cs sibuk seketika bersiap mengikuti ibu Malin Kundang dari belakang. Jubah
ajaibnya hampir tidak cukup menyembunyikan mereka berempat, membuat mereka
harus berjalan benar merapat, tapi juga berantakan karena masing-masing tidak
leluasa bergerak.
Sang
Ibu dan Umi melirik kebelakang karena merasa ada yang mengikuti, tapi mereka
tidak mendapati apapun, sepi. Harry cs ketika itu mendadak berhenti, mereka
bahkan berhenti bernafas karena takut suara nafas mereka terdengar.
Kedua
wanita yang sudah cukup tua itu mulai melupakan kecurigaan mereka dan mulai
berjalan kedepan. Harry cs seketika bisa bernafas lega, setelah itu mulai
berjalan mengikuti dengan ekstra hati-hati.
Semakin
jauh, jalanan semakin padat penduduk. Harry cs takut keberadaan mereka akan
diketahui penduduk karena jalanan yang dipenuhi penduduk sekitar. Akhirnya
dengan susah payah, mereka mencapai pinggiran jalan yang dipenuhi semak,
membuat mereka semakin sulit untuk berjalan bersama dalam satu jubah.
“Kenapa
si Malfoy bisa ada disini, sich? Kita jadi sulit bergerak,” gerutu Ron.
“Shut up, or I’ll give you spider!” balas
Malfoy santai namun sengit.
“Darimana
dia tahu kalau aku benci laba-laba?” dengan susah payah Ron berbisik bertanya
Harry dan Hermione. Tapi kedua temannya itu tidak menjawab melainkan hanya bisa
memandang Ron dengan pandangan simpatik. Kalau mereka mengucapkan sesuatu,
mereka takut tak bisa menahan tawa mereka.
Cukup
lama mereka berjalan, membuat Harry bosan. Sesaat Harry sempat menyesal kenapa
tempat ini yang mereka akhirnya mereka datangi, ia tidak merasa mempelajari
sesuatu, dan ia tidak suka drama antara ibu dan anak ini.
Pada akhirnya
mereka sampai didepan sebuah gerbang yang megah. Tak seperti dinegerinya Harry,
Inggris, yang jika terdapat sebuah tempat yang megah, maka gerbangnya pun akan
juga megah, tempat ini berpagar tidak terlalu tinggi, tapi rumah dibalik pagar
itu adalah benar megah dengan gaya khas daerahnya.
Beberapa
kali Harry cs melihat gaya rumah yang sama disepanjang jalan, tapi inilah yang
terindah. Atapnya melengkung dengan kedua ujung mengarah kelangit, banyak ornamen
kayu terukir indah disetiap jendela dan pintu. Rumah ini bagaikan rumah sihir
versi lain dalam satu negara.
“Aku
ingin bertemu Malin,” ucap sang Ibu kepada salah satu penjaga gerbang.
Ucapannya itu membuyarkan kekaguman Harry pada design rumah dan suasana
sekitar.
“Siapa
kau? Untuk apa kau ingin menemui Tuan kami?”
“Aku
ini ibunya.”
Sang
penjaga melirik temannya yang juga penjaga gerbang, pikiran mereka sama, apa
yang dipikirkan oleh wanita tua renta ini hingga berani menyebut tuannya yang
kaya raya sebagai anaknya. Jika wanita ini penipu, maka ia adalah penipu yang
bodoh.
“Benar,
ia adalah ibu dari Malin Kundang. Malin bertahun-tahun yang lalu merantau
meninggalkan ibunya, tapi berjanji untuk kembali,” bela Umi.
Kedua
penjaga itu merasa geli mendengar penjelasan singkat dari Umi. Mereka penipu
yang bodoh tapi sekaligus pintar berakting, wanita yang mengaku ibu dari Tuan
Malin ini nyaris menangis.
“Kalian
butuh uang, ini aku beri,” ucap penjaga pertama sambil memberi beberapa koin
pada sang Ibu.
“Apa?
Tidak, aku tidak butuh ini, aku hanya ingin bertemu anaku. Tolong, pertemukan
aku dengan Malin.”
“Tuan
kami bukan orang sembarangan, lebih baik kalian cepat pergi dari sini.”
“Kalian
pasti tidak percaya kalau wanita ini ada benar ibu Malin Kundang,” sela Umi.
“Kalian harus mempertemukan mereka. Mereka adalah benar ibu dan anak.”
“Maliiin,
Maliiiin...” teriak sang Ibu sambil mendekati pagar.
“Kalian
ini, salah satu penjaga itu marah. “Sudah diperlakukan baik, malah tidak tahu
diri. Cepat pergi dari sini!” ia meraih tangan sang Ibu menjauhkannya dari
pagar.
Hermione
gemas melihat keadaan didepan matanya, “ kita tidak bisa diam saja.”
“Kita
tidak boleh melakukan sesuatu yang bisa mengubah sejarah, kau ingat?” ucap
Harry tergesa. Ia pun tidak suka melihat keadaan didepannya. Kenapa wanita itu
begitu keras kepala, lanjutkan saja hidupnya tanpa harus memperdulikan anak
yang tidak tahu diri itu.
“Jadi
kita akan melihat saja seperti ini?”
“Apa
yang kau sarankan, setahuku bukan aku yang memutuskan untuk mendatangi tempat
ini,” Harry mulai kesal.
“Ada
apa ini?” dan muncullah pelakon utama dari drama ini. Malin Kundang berdiri
angkuh didalam pagar. Ia melangkah maju mendekati penjaga.
“Ada
seorang wanita yang mengaku sebagai ibu anda, Tuan.”
“Eh,
kau lagi,” ucap Malin Kundang sadar akan siapa yang berdiri rapuh dihadapannya.
“Malin,
jangan katakan kau masih belum mengingat ibumu ini, nak. Katakan kalau kau
memang benar Malinku,” sang Ibu sudah terisap ketika menjawab.
“Sudah
aku bilang, kau salah orang. Carilah orang lain, aku tidak mungkin punya ibu
seperti dirimu.”
“Kenapa
kau berkata seperti itu?” sela Umi. “Jika memang dia bukan ibumu, lantas siapa
ibumu? Perlihatkan kepada kami.”
“Aku
tidak punya ibu!” jawab Malin lantang, membuat kedua wanita dan Harry cs
terkejut. “Lagipula menurut kalian, kalian itu siapa, sampai aku harus menurut
dan memperlihatkan ibu kandungku.”
“Malin,
kenapa kau tega pada ibu, nak?” tangis sang Ibu.
“Ah,
sudahlah. Dasar wanita miskin tidak tahu diri. Jika ingin mengemis,
mengemislah. Tak perlu kau buang waktu mengaku sebagai ibuku,” Malin berteriak
membuat semua mata terbelalak, bahkan kedua penjaga gerbang terkejut dengan
amarahnya.
“Ini
uang buat kalian, untuk menutupi mulut-mulut dan pikiran yang kotor,” Malin
melempar sejumlah koin ke wajah sang Ibu dan Umi.
Hina.
Seorang ibu yang dihinakan anaknya. Sang Ibu merasa hina, lebih hina daripada
yang terhina. Matanya kini menjadi lebih merah, isaknya terhenti. Tubuhnya
gemetar menahan amarah yang terpendam.
“Kau
anak durhaka, Malin.”
Malin
tertawa sinis. Ia berbalik dan hendak masuk menjauhi ibunya.
“Aku
tidak pernah menyangka sedikit apapun kalau kau akan berubah seperti ini. Aku
tidak menginginkan hartamu, aku tidak pernah keberatan jika seandainya kau
kembali dan tak membawa uang sedikitpun asalkan kau selamat.”
Malin
tidak mau mendengarkan. Ia malu mengakui ibunya yang miskin ini, kepada istri
dan anak buahnya.
“Pria
ini berengsek,” bisik Malfoy menyadarkan ketiga lainnya, mereka seperti
menyaksikan film drama di tv layar besar versi 3D. Harry, Hermione dan Roy
lebih terkejut lagi mendengar komentar Malfoy barusan, karena ia biasanya
menikmati pertunjukan macam ini.
“Biarlah,
mari kita pulang saja,” ucap Umi menarik tangan sang Ibu pelan. Ternyata
pipinya sudah basah, ikut menangis akan drama dari anak sahabatnya.
“Aku
seorang ibu,” lanjut sang Ibu tidak menghiraukan ajakan Umi, dimatanya hanya ada Malin, anak
durhaka yang menghinanya.
“Aku seorang ibu, ibumu, yang tidak akan pernah memaafkan sikapmu ini, dan aku tidak akan pernah
melupakannya sampai aku mati nanti. Aku menyesal melahirkan anak sepertimu,”
teriaknya begitu membahana, sampai-sampai airmatanya terhenti karena emosi yang
ditahannya, hingga matanya begitu merah karena panas yang merasuk.
“Pergilaah,”
teriak Malin asal tanpa menolehkan wajahnya.
“Kau..
Terkutuk kau Malin. Aku harap
kau membatu saja, seperti hatimu yang seperti batu!” teriak yang sejadi-jadinya, dan mungkin
teriakan terlantang yang pernah ia alami.
Malin
berhenti. Ia melihat kakinya. Tidak ada yang terjadi. “Omong kosong!” celoteh Malin santai sambil melirik sang Ibu, lalu tertawa.
Tidak
ada lagi yang bisa Sang Ibu katakan, ia hanya bisa menahan geram yang luar
biasa. Tidak bisa memikirkan apa-apa, berkata apa-apa, bahkan bergerak.
Tidak
sedikitpun Malin menoleh setelah itu, tangannya tergenggam dibelakang
punggungnya dan ia berjalan dengan santai.
“Grr!
Aku tidak tahan,” bisik Malfoy tertahan, ia menahan emosi. Sesuatu yang diluar
kendali memaksa Malfoy mengangkat tongkat sihirnya, dan ia pun berteriak.
“Rockiciatus!”
“No,
Malfoy!” cegah Harry.
Terlambat.
Malfoy sudah mengucapkan mantra itu dan tongkatnya sudah menyalurkan kekuatan
sihir itu.
Malin
yang kembali melangkah kedalam, tiba-tiba saja merasa kakinya menjadi berat. Ia
melihat apa yang terjadi dengan kakinya. Tidak terjadi apa-apa, tapi kenapa
bisa berat begini?
Ketika
mencoba berjalan beberapa langkah lagi, kakinya semakin sulit digerakan, ia
menyeret-nyeret kakinya, ingin segera pergi dari situ karena ia tidak ingin kedua
wanita dibelakangnya tahu kalau ia tiba-tiba sulit berjalan.
Pada
langkah terakhir, Malin
benar-benar tidak bisa menggerakan kakinya. Ia melihat lagi ada apa dengan
kakinya. Kali ini, Malin terkejut karena perubahan kakinya. Kakinya perlahan
berwarna seperti batu, menjalar perlahan sampai kepaha.
“Apa
ini? Kalian tolong aku!” teriak Malin panik, pada penjaga gerbangnya.
Kedua penjaga segera mendekati,
tapi mereka bingung, tidak tahu harus berbuat apa dengan keanehan yang terjadi
pada tuan mereka, mereka tidak berani menyentuh, karena selain dalam kehidupan
sehari-hari pun tidak ada yang berani menyentuh Malin Kundang selain istrinya,
mereka juga takut kalau-kalau keanehan itu akan tertular pada mereka.
“Malfoy,
kau bodoh sekali! Apa kau tahu apa yang baru saja kau lakukan?!” bisik Ron
dengan penekanan kata yang jelas, hasil dari ingin berteriak tapi tidak bisa.
“Kau
tidak boleh melakukan sesuatu yang bisa mengubah sejarah, Malfoy!” kali ini
Hermione mendukung Ron. Harry pun setuju dengan kedua sahabatnya, ia memang
kesal melihat tingkah laku pria bernama Malin itu, tapi ia tidak dalam kuasa
bisa mengubah sesuatu disitu. Walaupun begitu, Harry tidak mengatakan apa-apa.
“Curse
you, fool!” Malfoy menurunkan tongkatnya, seperti tidak mendengar ucapan-ucapan
protes dari Ron dan Hermione. Wajahnya sangat khas seorang Lucious ketika sedang
murka.
“Ayo
kita pergi dari sini,” tanpa memperdulikan peraturan dari time traveler dan
Harry cs, Malfoy menyibak jubah, dan berjalan menjauh. Ia tidak perduli jika
ada seseorang dari masa itu yang melihatnya, ia tidak perduli bahkan jika ia
dikatakan alien, ia hanya tidak tahan menyaksikan drama ini.
“Why yoouuu!” Ron menggeram. “Why on earth did he come with us!”
“Kita
harus pergi, Harry. Malfoy akan mengacaukan time traveler dengan sikapnya ini,”
ucap Hermione was-was. Untung saja tidak ada orang yang melihat Malfoy
berjalan.
Harry
hanya menggangguk tanpa mengucapkan apa-apa. Sebelum mereka benar-benar pergi,
mereka melihat Sang Ibu untuk yang terakhir kalinya. Malin masih
berteriak-teriak, beberapa penjaga rumah berdatangan dan mereka panik, tidak
tahu harus berbuat apa. Sudah ada seorang wanita disana, menangis dan menjerit
memohon ampun pada wanita yang ditunjuk-tunjuk Malin. Wanita itu sepertinya
sandingan Malin Kundang, cantik dan anggun dengan pakaian khasnya. Sedangkan
Malin, setengah badannya sudah berubah menjadi batu.
Harry
berbalik dan melangkah menjauh. Baru selangkah mereka berjalan, mereka
mendengar sesuatu yang mengejutkan.
“Ibu..ibu..”
Harry
cs berbalik, Malin meratap. Tangannya mencoba meraih sang Ibu, wajahnya
mengisyaratkan penyesalan yang dalam, tapi Sang Ibu terlanjur membalikan badan.
Ratapan Malin pun tak ia hiraukan, hatinya terlanjur hancur, tak mungkin
dikembalikan seperti semula.
Harry
cs berpandangan, mereka senang mendengar Malin akhirnya mengakui ibunya,
walaupun sudah terlambat. Mereka menyesali keadaan itu, tapi tak ada yang bisa
mereka lakukan, Malfoy sudah melanggar aturan, mereka tidak mungkin
menambahkannya lagi. Lalu mereka pergi, tergesa menyusul Malfoy dan langsung
menutupi Malfoy dengan jubah.
“Bagaimana
kita pergi dari sini?” tanya Harry pada Hermione. Mereka sama-sama pertama
menggunakan time traveler, tapi hanya Hermione yang tahu bagaimana mereka bisa
kembali ke Hogwarts.
“This
is your journey – ini perjalananmu, kau yang bisa membuat kita kembali. Jika
kau ingin kita kembali, maka kita akan kembali.”
Harry
nampak tidak begitu yakin dengan jawaban Hermione. Hatinya memang ingin segera
kembali ke Hogwarts, tapi...
Sretttttt...!!!
Sesuatu
menarik mereka berempat. Sesuatu itu adalah keinginan Harry. Begitu dia
menginginkannya, ia akan terhisap kembali ketempat yang bisa ia katakan ‘home’.
Mereka
terjatuh dihalaman, persis jarak antara kastil Hogwarts dan gubuk Hagrid.
Hagrid
disana sedang menebas buah seukuran setengah badannya. Ia melihat Harry cs jatuh
disana. Agar bisa melihat lebih jelas, ia menghalau cahaya siang yang cerah
dengan tangan kanannya yang gempal, diatas matanya.
“Hey,
Harry! Is everything allright there?”
Hagrid merasa lebih aneh lagi ketika mendapati Malfoy sedang bersama mereka.
“Yeah,
we’re fine,” jawab Harry sambil
berdiri.
“Bloody hell, tidak perduli dimanapun,
kau selalu berbuat bodoh, Malfoy,” gerutu Ron. Ia tidak sadar sedang mendapat
tatapan aneh dari Hermione, karena biasanya Ron lah yang selalu melakukan hal
bodoh. Dimanapun.
“Sudahlah,
yang penting kita sampai di Hogwarts. Lain kali jika kita mendapat kesempatan
lain menggunakan time traveller, akan kita gunakan dengan lebih baik lagi. Aku
akan lebih matang lagi memikirkannya,” ucap Harry.
Hermione
menatap Malfoy, tidak ada ucapan balasan darinya. Ia hanya diam membersihkan
debu-debu yang menempel dijubahnya ketika ia mendarat tadi.
Malfoy
berbalik dan menjauh. Ia ingin segera sampai diasramanya, Slytherin.
Hermione
menarik nafas kesal. Cowok ini, selain tidak tahu cara berterimakasih, ia juga
tidak tahu bagaimana membuat sesuatu berjalan semestinya. Bahkan untuk pamit,
mungkin tidak pernah ada dalam pikirannya, terutama pada dirinya seorang muggle
yang sangat dibenci Malfoy.
“Sorry,”
tiba-tiba Malfoy berhenti. Ia tidak membalikan badannya, mungkin ia terlalu
malu melakukan hal itu, atau mungkin ia tidak ingin Harry cs melihat ekspresi
wajahnya saat itu, sedih. “Maaf atas kekacauan ini. Aku tahu kalau Dumbledore
bahkan mungkin sudah tahu tentang pelanggaran ini, dan mungkin menyebabkan
kalian diinterogasi, termasuk aku.”
“Aku
hanya benci melihat pria itu. Aku benci bagaimana ia memperlakukan ibunya. All my life, meskipun aku pernah menjadi
pengikut You-Know-Who, meskipun aku
membenci Harry dan The Weasley, meskipun aku membenci Muggles, tapi aku tidak
pernah – tidak pernah, memperlakukan ibuku seperti itu. I cant help it,” Malfoy lalu benar-benar melangkah pergi.
Harry
cs terdiam, mungkin ini adalah kata-kata paling jujur dari seorang Lucious
Malfoy seumur hidup mereka mengenalnya.
Benar
juga, jika Harry mengingat masa-masa bagaimana ia bersiteru dengan Malfoy,
Harry ingat bagaimana ibunya begitu melindungi Malfoy, bagaimana ibunya
mengorbankan dirinya sendiri demi agar anaknya tidak terpilih melakukan
pengorbanan terhadap Voldemort. And surprisingly, Malfoy adalah anak yang
menyayangi ibunya.
“Well,
setidaknya perjalanan ini membawa pelajaran tersendiri untuk Malfoy, bukan
begitu?” tanya Hermione akhirnya tersenyum.
“Aku
benci mengatakan ini, tapi kau benar,” balas Ron, tanpa senyum.
Berbeda
dengan Ron, Harry tersenyum. “Ya kau benar. Tidak begitu sia-sia bukan? Ini
mungkin perjalananku, tapi ini lebih pada perjalanannya. Ayo,” Harry tiba-tiba
merasa bersemangat menatap kedua sahabatnya,” kita ke gubuk Hagrid.
“Agree!”
jawab Hermione.
“C’mon!”
Ron menimpali.
Mereka
lalu berjalan menuju Hagrid, saling merangkul. Hagrid ikut tersenyum menyadari
tidak ada sesuatu yang aneh pada Harry cs. The
sky looks brighter than a few seconds ago.
No comments:
Post a Comment