Saturday, 3 January 2015
Toleransi Agama Kita
Rumah ini, rumah saya, berisi beberapa orang yang tentunya punya sifat yang berbeda2 dan unik, termasuk agama. Selama banyak tahun, rumah kami diisi oleh penganut Buddha dan Islam, namun semuanya baik2 saja, rukun dan toleransi, bahkan boleh saya bilang sangat toleransi. Seharusnya beginilah budaya yang seharusnya tertancap diluar sana.
Sebagian besar anak papah memang masup muslim karena mengikuti pasangannya. Terimakasih kepada kakak2 ipar saya, yang walaupun saya tahu bagaimana ajaran Islam terhadap larangan2 tertentu, sudah bersikap begitu menghargai papah saya. Setiap Imlek, dimana pada pukul 12 malam dimulainya acara sembahyang penyambutan Tahun Baru China, kakak2 ipar saya berdatangan sedari siang, dan ikut sembahyang. Saya tahu itu terlarang bagi Muslim, tapi saya juga yakin Tuhan tidak akan memandang sebelah mata. Niat kalian adalah menghargai papah saya dan keluarga ini, juga mengaggap ini sebagai tradisi saja. Semoga anak2 kalian berbakti selalu, sadhu3x.
Maaf kepada anggota keluarga dirumah yang kalau masanya bulan Ramadhan, kami kurang bisa menahan sikap untuk tidak makan didepan kalian. Sebagian besar alasannya karena kebiasaan / lupa.Tapi kalian cuek2 ajah dan memaklumi sikap kami.
Beberapa sikap toleransi dari papah saya, adalah ketika ponakan2 saya dengan suara kerasnya belajar mengaji. Biasanya jika ada satu orang dengan suara agak lantang, Papah langsung menegur, tapi kalau soal ngerjain PR arau belajar ngaji, papah cuek-cuek ajah nggak negur apa-apa. Bahkan diruang beristirahatnya papah saya, ponakan2 saya menggelar sajadah dan belajar Sholat. Ponakan2 yang lucu ribut soal arah kiblat, tentu saja dirumah saya yang vihara itu tidak ada tanda kiblat :D dan saya sendiri nggak tahu arah kiblat dimana, pun papah saya. Tapi papah saya berkomentar, bukan komentar soal arah kiblat, "betulin dulu atuh sajadahnya, masa dilantai, atuh kotor (seharusnya diatas tikar, karena diruang itu selalu gelar tikar)".
Hampir setiap sore, ponakan tertua dirumah saya mencium tangan kakeknya untuk pamit mengaji. Dia keluar masup rumah dengan menggunakan baju koko dan topi kampret (betul ya topi kampret namanya?), tidak perduli mungkin ada beberapa pandangan aneh tentang seorang/beberapa wanita yang keluar masuk vihara/kelenteng dengan menggunakan baju muslim.
Perbedaan ini tidak terasa karena sudah begitu lama ada di satu atap. Perbedaan yang tidak selalu 'agama' akan selalu ada, tapi dengan sikap santai, tentu semuanya akan terasa ringan. Untuk orang tua yang keberatan tinggal dengan anak atau anak-mantu yang berbeda agama, layaknya harus lebih bisa berbesar hati dibandingkan anaknya. Adalah salah satu hal yang membuat orang mempunyai status "paling sabar" menyangkut soal tolerasi agama, terutama pada kehidupan keluarga, kadang lebih sensitif dibandingkan dengan perihal uang. Tentu tidak gampang, tapi bukan mustahil. Seiring berjalannya waku, semua akan terbiasa, toleransi lebih tinggi, dan menganggap bahawa perbedaan agama itu memang seharusnya bukan suatu masalah.
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
Keluarga yg hebatt,,kereeen budee,likedd,pertahankaaan..!
ReplyDeleteEeeeeheheh.. Ada pakle
ReplyDeleteTrims pakle ^^