“So, Stephanie..
High hils mana yang menurutmu cocok dengan baju ini?”
“Rosa, kau bertanya seolah kau
punya puluhan high hils,” jawab Stephanie memutar matanya, tapi tak urung ia
melempar pelan majalah yang sedang dibacanya ditempat tidur Rosa, lalu bangun
dan mulai memilih sepatu yang cocok dengan pakaian yang akan dikenakan Rosa
malam itu, dan high hils itu, sadly hanya berjumlah 3 pasang saja.
“Setidaknya aku punya lebih dari
satu, jadi pantas untuk mendapat pilihan, bukan?”
“Ah iya, kalimat yang optimis
untuk seorang pesimis.” Stephanie memperhatikan high hils beberapa saat, lalu
gaun pendek yang baru saja selesai dikenakan Rosa. “Anyway, pilihannya akan
selalu jatuh pada warna hitam.”
“And why is that?” tanya Rosa
tanpa melirik Stephanie, ia berkaca memperhatikan apabila ada lekuk-lekuk gaun
yang tidak sesuai dengan bentuk tubuhnya yang tidak begitu tinggi.
Stephanie menghela nafas, “well, karena high hilsmu berwarna netral semua, hitam, krem, dan putih.
Ya Tuhan, apa hidup untukmu cuman hitam putih saja hingga ketika kau beli
sepatu, seolah tidak ada warna lain yang lebih layak kau beli, Rosamund?”
Kali ini Rosa berbalik menatap
Stephanie dengan tatapan sedih, ia menghela nafas sebelum menjawab, “aku hanya
merasa dengan warna netral akan lebih gampang memadu-padankan dengan pakaian
yang aku kenakan sehari-hari.”
“Aku tidak bisa bilang itu ide
bagus walaupun kedengarannya itu bagus, tapi warna netral itu cukup satu atau
dua saja jika kau membatasi jumlah sepatunya, dan itu hanya tiga pasang saja,”
jawab Stephanie dengan wajah datar dan sebal pada selera sahabatnya ini.
“Sepatu ketiga kau bisa membeli warna yang lebih ceria, seperti merah, emas,
atau perak.”
“Harus ada pakaian dengan warna
senada kalau begitu, dan aku tidak punya warna yang kau sebut barusan, dan jika
aku harus tiba-tiba membeli pakaian yang warnanya harus senada dengan warna
sepatu yang aku punya, dan aku hanya mengenakannya sekali atau dua kali saja,
sepertinya aku hanya buang-buang uang saja.”
“Helloo...Rosamund, kau adalah
wanita, dan tidak ada yang namanya buang-buang uang jika berkenaan dengan
sepatu, make-up, atau pakaian walaupun kau hanya mengenakannya beberapa kali
saja,” ucap Stephanie tegas sambil mendekati dan mengguncang-guncangkan kedua
pundak Rosa, seolah dia ingin membuat Rosa sadar, bahwa Rosa baru saja
melontarkan kalimat yang aneh yang diucapkan seorang wanita, terutama yang
sudah bekerja yang penghasilannya benar-benar ia gunakan untuk sendiri, bukan
oleh seorang perempuan yang masih sekolah, bukan oleh seorang wanita yang
ditinggalkan suaminya dan menjadi single parent dengan mengurus anaknya, juga
bukan seorang wanita yang harus memberi sebagian penghasilannya kepada orang
tuanya karena alasan usia dan tingkat produktivas yang rendah.
“Tapi aku lebih suka membeli
barang yang bisa aku pakai sering-sering.”
“Kau bisa, kau bisa!” Stephanie
masih mengguncang-guncang pundak Rosa, “tapi seharusnya ‘cadangan’ itu harus
selalu ada. Seharusnya penghasilanmu, walaupun kau selalu bilang penghasilanmu
tidak besar, mampu membeli satu pasang saja sepatu,” Stephanie sengaja membuat wajahnya
seperti ingin menangis, antara rasa kesal dan sedih, “kau harus punya cadangan
untuk bisa membuatmu lebih cantik, dan tidak menyedihkan dengan warna-warna
netral yang tidak membuat pria melirikmu, Rosa.”
“Keras kepalaaa,” Stephanie
setengah berteriak, lalu berbalik mendekati tempat high hils Rosa tersimpan, ia
mengambil yang berwarna hitam. “ Tidak ada pilihan lain, hitam saja. Warna krem
hanya berkesan manis dan tidak cocok untuk jenis pesta manapun kecuali pesta
untuk para manula,” jelas Stephanie membuat Rosa tertawa. “Dan warna putih,
cocok hanya jika gaun yang sekarang kau pakai berwarna terang, sedangkan gaunmu
berwarna gelap.”
“So?”
Stephanie menghela nafas yang
kesekian kalinya, “ya Tuhan, aku tidak percaya semasa kita sekolah kau selalu
bisa mendapat nilai yang bagus. So, its blaaack!”
No comments:
Post a Comment