Thursday, 15 January 2015

Antara Wanita, Sahabat, dan Perdebatannya


      “So, Stephanie.. High hils mana yang menurutmu cocok dengan baju ini?” 

     “Rosa, kau bertanya seolah kau punya puluhan high hils,” jawab Stephanie memutar matanya, tapi tak urung ia melempar pelan majalah yang sedang dibacanya ditempat tidur Rosa, lalu bangun dan mulai memilih sepatu yang cocok dengan pakaian yang akan dikenakan Rosa malam itu, dan high hils itu, sadly hanya berjumlah 3 pasang saja.

     “Setidaknya aku punya lebih dari satu, jadi pantas untuk mendapat pilihan, bukan?”

     “Ah iya, kalimat yang optimis untuk seorang pesimis.” Stephanie memperhatikan high hils beberapa saat, lalu gaun pendek yang baru saja selesai dikenakan Rosa. “Anyway, pilihannya akan selalu jatuh pada warna hitam.”

     “And why is that?” tanya Rosa tanpa melirik Stephanie, ia berkaca memperhatikan apabila ada lekuk-lekuk gaun yang tidak sesuai dengan bentuk tubuhnya yang tidak begitu tinggi.

     Stephanie menghela nafas, “well, karena high hilsmu berwarna netral semua, hitam, krem, dan putih. Ya Tuhan, apa hidup untukmu cuman hitam putih saja hingga ketika kau beli sepatu, seolah tidak ada warna lain yang lebih layak kau beli, Rosamund?”

     Kali ini Rosa berbalik menatap Stephanie dengan tatapan sedih, ia menghela nafas sebelum menjawab, “aku hanya merasa dengan warna netral akan lebih gampang memadu-padankan dengan pakaian yang aku kenakan sehari-hari.”

     “Aku tidak bisa bilang itu ide bagus walaupun kedengarannya itu bagus, tapi warna netral itu cukup satu atau dua saja jika kau membatasi jumlah sepatunya, dan itu hanya tiga pasang saja,” jawab Stephanie dengan wajah datar dan sebal pada selera sahabatnya ini. “Sepatu ketiga kau bisa membeli warna yang lebih ceria, seperti merah, emas, atau perak.”

     “Harus ada pakaian dengan warna senada kalau begitu, dan aku tidak punya warna yang kau sebut barusan, dan jika aku harus tiba-tiba membeli pakaian yang warnanya harus senada dengan warna sepatu yang aku punya, dan aku hanya mengenakannya sekali atau dua kali saja, sepertinya aku hanya buang-buang uang saja.”

     “Helloo...Rosamund, kau adalah wanita, dan tidak ada yang namanya buang-buang uang jika berkenaan dengan sepatu, make-up, atau pakaian walaupun kau hanya mengenakannya beberapa kali saja,” ucap Stephanie tegas sambil mendekati dan mengguncang-guncangkan kedua pundak Rosa, seolah dia ingin membuat Rosa sadar, bahwa Rosa baru saja melontarkan kalimat yang aneh yang diucapkan seorang wanita, terutama yang sudah bekerja yang penghasilannya benar-benar ia gunakan untuk sendiri, bukan oleh seorang perempuan yang masih sekolah, bukan oleh seorang wanita yang ditinggalkan suaminya dan menjadi single parent dengan mengurus anaknya, juga bukan seorang wanita yang harus memberi sebagian penghasilannya kepada orang tuanya karena alasan usia dan tingkat produktivas yang rendah.

     “Tapi aku lebih suka membeli barang yang bisa aku pakai sering-sering.”

     “Kau bisa, kau bisa!” Stephanie masih mengguncang-guncang pundak Rosa, “tapi seharusnya ‘cadangan’ itu harus selalu ada. Seharusnya penghasilanmu, walaupun kau selalu bilang penghasilanmu tidak besar, mampu membeli satu pasang saja sepatu,” Stephanie sengaja membuat wajahnya seperti ingin menangis, antara rasa kesal dan sedih, “kau harus punya cadangan untuk bisa membuatmu lebih cantik, dan tidak menyedihkan dengan warna-warna netral yang tidak membuat pria melirikmu, Rosa.”

      “Itu namanya...”

     “Keras kepalaaa,” Stephanie setengah berteriak, lalu berbalik mendekati tempat high hils Rosa tersimpan, ia mengambil yang berwarna hitam. “ Tidak ada pilihan lain, hitam saja. Warna krem hanya berkesan manis dan tidak cocok untuk jenis pesta manapun kecuali pesta untuk para manula,” jelas Stephanie membuat Rosa tertawa. “Dan warna putih, cocok hanya jika gaun yang sekarang kau pakai berwarna terang, sedangkan gaunmu berwarna gelap.”

     “So?”

      Stephanie menghela nafas yang kesekian kalinya, “ya Tuhan, aku tidak percaya semasa kita sekolah kau selalu bisa mendapat nilai yang bagus. So, its blaaack!”

No comments:

Post a Comment