Tuesday 12 March 2013

The Story of Malin Kundang / Harry Potter - New Version


                “Apa ini?” tanya Harry.
                “Its time traveler,” jawab Dumbledore. “Kau bisa pergi kemanapun kau mau, di era kapanpun kau mau.”
                “Benarkah? Kemanapun? Bukankah setiap tempat bisa menyimpan sihirnya sendiri sehingga kita tidak bisa sembarangan datang?”
                “Ini berbeda, kau bisa datang kemana dan kapanpun. Tapi, ada syaratnya, kau tidak boleh terlihat orang lain, karena kau bisa merubah sejarah atau garis hidup seseorang pada saat itu juga, it’s forbidden. Kau hanya boleh memperhatikan dan mendengar.”
                “Ah, I see.”
                “Time traveller ini dibuat untuk pembelajaran dari masa lalu, sejarah, manusia purba, budaya, dan kemungkinan-kemungkinan hal besar yang akan terjadi dimasa depan yang bisa menyebabkan kepunahan, hingga kita bisa mengantisipasinya dimasa kini.”
                Harry memperhatikan time traveller yang bentuknya seperti pintu itu. Sisinya berhias ornamen-ornamen cantik berwarna emas. Sesekali dari area pintu itu, keluar sinar biru terang yang menyerupai cambuk, bergerak halus dan indah.
                “Karena kau sudah berjasa dalam melawan Voldemort, kau mendapat hadiah, satu kali perjalanan melalui time traveler ini, kemanapun kau mau,” lanjut Voldemore mengakhiri ucapan dengan senyum menggoda, ia tahu Harry akan tertarik.
                Harry menelan ludah, pikirannya langsung sibuk membayangkan jutaan tempat, jutaan macam budaya dan warna yang akan ia datangi nanti. “Bolehkan aku membawa Hermione dan Ron?”
                Dumbledore mengangguk lembut, ia begitu menyayangi Harry sampai-sampai ia begitu senang melihat luapan semangat Harry. “Sekali perjalanan saja, tapi kau bisa mengajak siapapun yang kau mau.”
                Harry tersenyum girang, perjalanan macam ini tentu tidak akan kumplit tanpa kedua sahabatnya. “Tapi bagaimana aku akan kembali?”
                “Its your journey. Kapanpun kau memutuskan untuk kembali, kau akan kembali.”

                “Harry, kita harus memutuskan dengan bijak tempat seperti apa yang akan kita datangi nanti,” ucap Hermione, seperti biasa – bersemangat, intimidasi, menguasai, tapi brilian.
                “Aku masih belum punya ide,” jawab Harry datar ketika itu diruang rekreasi sedang menghangatkan diri didepan bara api bersama teman-temannya.
                “Ke tempat dimana kita bisa melihat bagaimana Marie Antoinette dipancung, kecantikannya, kekayaannya, kemegahan istananya, perselingkuhannya...”
                Brash! Sebuah kertas yang sudah diremas terlempar kewajah Ron ketika ia berkhayal bisa melihat Marie Antoinette. Ron lalu menatap protes Hermione yang baru saja melempar kertas padanya, sayangnya tatapan Hermione lebih sengit, hingga akhirnya Ron tertunduk menyerah.
                “Apa yang menjadi favoritmu, Harry?” tanya Hermione.
                My favorite would be... tempat dimana aku bisa melihat kedua orang tuaku.”
                Hermione melempar pandang sedih pada Ron, dan Ron pun berpikiran sama. Mereka berdua sangat beruntung masih memiliki kedua orangtua, tidak seperti Harry.
                “Menyedihkan, eh? Ketika kita bisa bertemu orang yang sangat kita sayangi, tapi tidak bisa menyentuh bahkan berkomunikasi dengan mereka. Aku rasa akan lebih menyakitkan. Jadi, eum.. itu adalah tempat yang ingin aku datangi tapi tidak akan aku datangi, kecuali mereka benar-benar bisa melihat dan berbicara denganku,” lanjut Harry.
                “Akan sangat menyenangkan kalau kita bisa pergi ketempat yang hangat,” sela Ron memandangi bara api sambil menggosok-gosok tangannya, mencoba mengalihkan kesedihan Harry.
                “Tempat dengan budaya yang kaya, dan bersejarah,” ucap Harry melengkapi.
                “Unik,” Hermione menambahkan. “A-ha!” ia berteriak keras membuat Harry dan Ron kini benar-benar menatapnya, meskipun itu adalah tatapan aneh.
                “Indonesia!”
                Harry dan Ron, “Eh?”

                Harry, Hermione, dan Ron berputar-putar dalam lingkaran waktu setelah mereka memasuki time traveller.
                “Aku rasa aku akan muntah,”  teriak Ron.
                “Shut up, Ron!” dan akan selalu mendapat protes dari Hermione.
                Perjalanan itu tidak sampai dua menit, mereka akhirnya terjerembap diatas rumput-rumput liar, pepohonan yang cukup padat dan besar.
                “Dimana kita?” tanya sebuah suara asing tapi tidak begitu asing. Harry cs saling bertatap bingung, suara itu bukan suara mereka. Lalu mereka mencari sumber suara.
                “Malfoooy?!” teriak Harry cs.
                “Hey, kenapa kalian begitu terkejut melihatku?” protes Malfoy. Beberapa helai rambutnya yang biasanya tersisir rapih kebelakang, jatuh kedepan menghalangi pandangannya pada Harry cs.
                “Apa yang kau lakukan disini?” tanya Hermione dengan ekspresi keheranan yang kentara.
                “Aku melihat kalian berbisik seru, jadi aku mengikuti kalian, apalagi setelah melihat time traveller, aku jadi benar-benar ingin tahu.”
                “Demi jenggot merlin, bagaimana bisa?” sela Ron ketus, bagaimana bisa ada Malfoy disini? Bagaimana tidak, Malfoy dan keluarganya selalu menghina keluarga Weasley, mereka seperti musuh bebuyutan. “Ini pasti takdir yang aneh,” gumamnya sambil menggeleng-geleng kepala.
                “Dimana ini?” tanya Malfoy sambil berdiri dan membersihkan pakaiannya dari tanah yang menempel.
                “Kita berada di Padang, salah satu nama daerah disebuah negeri bernama Indonesia, ” jawab Hermione mengikuti Malfoy berdiri. Harry dan Ron pun melakukan hal yang sama.
                “Indonesia? Tidak pernah dengar. Tempat macam apa itu, dan kenapa disini? Kenapa tidak Rhoma, kita bisa melihat pertandingan antara manusia dan singa. Atau kenapa kita tidak pada saat Julius Caesar melancarkan serangan Ke Britania? That’s what I call history,” Malfoy mengakhiri pertanyaan yang terdengar seperti permintaan paksa, dengan nada yang dibuat mengerikan.
                Hermione dan Ron memutar matanya sambil melangkah pergi, rasanya malas menimpali ucapan seorang anak yang menikmati sebuah peperangan. Harry hanya menatap mereka tanpa ekspresi. Well, bisa dibilang dia sudah sangat terbiasa dengan tingkah Malfoy.
                “Hey, kalian mau kemana?” teriak Malfoy.
                Masih tidak ada jawaban, akhirnya Malfoy mengikuti mereka, masih dengan gerutuan ala penyihir berdarah murni.
                “Kemana kau membawa kami, Harry?” tanya Ron sambil menyingkirkan alang-alang tinggi yang menghalangi. Hanya keinginan Harry pribadi yang bisa membawa mereka ketempat seperti ini.
                “Well, sejak Hermione mangatakan tempat yang penuh sejarah dan kebudayaan, termasuk tambahan Hermione dari ucapanmu yang menginginkan tempat yang hangat, inilah tempatnya, tapi aku sama sekali tidak tahu tempat macam apa ini, aku hanya tahu namanya, Indonesia.”
                “Bukankah menyenangkan?” sela Hermione yang berjalan paling depan. Sejenak Harry berpikir, ini bukan perjalanan yang ia inginkan, Hermione yang menginginkannya. Tapi Harry tidak keberatan, dia yakin pilihan Hermione jauh lebih baik daripada pilihannya karena ia sama sekali tidak bisa berpikir tempat macam apa yang ingin dia datangi, kecuali tempat yang berhubungan dengan orangtuanya.
“Kita mendatangi sebuah tempat yang sama sekali belum pernah kita dengar, apalagi kita kunjungi. Jangan hanya ingin mendatangi Gaul (nama Perancis dahulu), or Goryeo (nama Korea dahulu), or Rusia, semua informasi tentang negara-negara itu sudah terlalu umum dan kalian bisa membaca buku untuk tahu lebih banyak tentangnya.
                For the first time ever, Harry, Ron, dan Malfoy saling menatap dengan pemikiran yang sama. Mereka setuju kalau saran terakhir dari Hermione itu sangat nggak-mereka-banget, dan lebih tidak mungkin untuk mendebat Hermione soal yang satu itu, jadi mereka hanya bisa melempar pandangan aneh saja.
                “Kalian dengar suara itu? Sepertinya kita semakin dekat dengan area penduduk,” ucap Hermione pelan.
                Harry, Ron, dan Malfoy langsung terdiam dan berkonsentrasi pada pendengaran mereka. Hermione benar, terdengar suara orang sedang bercakap-cakap. Mereka melangkah mendekat, dan suara orang-orang itu semakin dekat.
                Semakin lama semakin jelas terdengar, meskipun bahasa mereka jelas berbeda dari bahasa Inggris, Harry cs bisa tahu sepertinya ada sebuah keributan. Mereka mengintip diantara alang-alang. Pepohonan ditempat itu luar biasa hijau walaupun tidak teratur. Hermione menunduk terlebih dahulu, kemudian berbisik kepada dirinya sendiri, mengeluarkan sihir supaya ia bisa mengerti bahasa setempat dan keributan macam apa yang sedang terjadi. Percikan sinar keluar dari tongkatnya menyerbu wajah sampai ke telinga Hermione. Senyumnya mengisyaratkan keberhasilannya, tapi senyum itu langsung hilang melihat ketiga cowok disampingnya memandanginya iba, meminta untuk disihir hal serupa.
                “Berani-beraninya kau mengaku sebagai ibuku!” teriak seorang pria dengan topi panjang hampir menyerupai  segitiga yang dibentuk melingkar menutup kepala.
                “Malin, aku ini ibumu. Ibumuu, nak”, seorang wanita tua berpakaian lusuh mengiba dihadapan sebuah kereta indah. Dua orang yang nampak seperti seorang pengawal, menahan wanita tua itu agar dia tidak bisa melangkah lebih dekat ke kereta itu.
                “Oh, wow! Itu adalah kereta yang unik! Kalian lihat itu?” bisik Ron terkagum-kagum tanpa mendapat jawaban. Kereta itu sangat berbeda dengan kereta Hogwarts, ukirannya khas mengikuti budaya setempat, lebih kecil, tapi indah dan kokoh.
                “Wanita miskin yang mencoba mencari harta kekayaan dengan mengaku sebagai ibuku? Hey, wanita tua, kau harus lebih pandai dari itu,” pria yang diam dikereta itu kembali berteriak.
                “Malin, bagaimana bisa kau melupakan ibumu sendiri?” teriak wanita itu.
                “Cih!” pria bernama Malin itu memerintahkan kusir untuk segera pergi, dua pengawal itu pun melepaskan wanita itu dengan kasar, lalu bergegas mengikuti kereta itu.
                Wanita itu menangis, menjadikan kain yang menutupi seluruh rambutnya sebagai sapu tangannya. Orang-orang disekelilingnya menatap iba, beberapa diantaranya datang mendekati dan berusaha menenangkan.
                “Tapi dia itu benar-benar anakku,” jawab wanita itu masih tetap menangis. Orang-orang yang menenangkannya sulit mempercayai perbedaan yang sangat jauh itu. Wanita itu terlihat seperti orang yang kurang mampu, sedangkan pria yang ia teriaki sebagai anaknya, nampak seperti orang yang bergelimangan harta, istri sang pria pun cantik menawan.
                “Apa kau benar-benar percaya kalau wanita itu adalah ibunya?” tanya Ron tanpa mengalihkan pandang dari wanita itu.
                I dont know,” jawab Hermione meskipun tidak jelas Ron bertanya pada sapa.
                “Kasihan wanita itu,” sela Harry merasa iba. Disaat dia sangat membutuhkan kasih seorang ibu, seseorang disuatu tempat malah mengakui seorang lainnya sebagai anaknya. Hermione memandang simpatik pada Harry, sepertinya ia tahu pikiran Harry.
                “Apa dia kurang waras? Mungkin dia kehilangan anak laki-lakinya hingga ia jadi berhalusinasi melihat laki-laki lain sebagai anaknya?” celetuk Malfoy.
                Komentar yang satu ini masih tetap sinikal seperti biasanya dari seorang Malfoy, tapi Hermione merasa ucapannya ada benarnya juga, mungkin wanita ini mengalami kejadian buruk dimasa lalunya.
                “Hey, dia pergi. Ayo kita ikuti dia!” bisik Ron tiba-tiba.
                Tanpa menjawab, semua setuju mengikuti. Mereka membuntuti wanita itu dibalik semak-semak. Wanita itu berjalan gontai sambil sesekali menyeka air mata yang masih keluar, dengan kain penutup rambutnya, tangis tanpa suara dari pertanyaan-pertanyaan yang bermakna kebingungan dan ketidakadilan.
                Semakin lama, wanita itu berjalan semakin menjauhi kota, pepohonan semakin padat, area yang masih tidak begitu teratur, sampai akhirnya ia sampai disebuah rumah usang.
                “Ada apa denganmu?” tanya seorang wanita lainnya yang bertubuh gemuk, ketika dia sedang memberi makan ayam-ayamnya.
                “Aku bertemu Malin, Mi,” jawabnya sambil meneteskan airmata.
                Wanita gemuk yang dipanggil Umi itu terkejut, ia tahu, inilah pertemuan yang dinanti-nantikan wanita tua malang ini. Ia menyimpan makanan peliharannya dan berjalan mendekati sang Ibu.
                “Kau bertemu Malin? Astaga, setelah penantian bertahun-tahun akhirnya kau bertemu dengannya?” tanyanya senang. “Eh, tapi, mana dia sekarang? Dan kenapa kau terlihat begitu sedih?”
                Sang Ibu mengumpulkan kekuatan untuk menjawab pertanyaan Umi, ia tidak ingin tangisnya tumpah saat menceritakannya. “Ia tidak mengakuiku sebagai ibunya,” benar saja, ia langsung menangis tidak karuan.
                “Apa? Apa yang kau katakan? Bagaimana mungkin? Malin seorang anak yang baik.”
                “Dia memang anak yang baik, dulu. Sekarang setelah dia mengenal harta, dia gelap mata. Ia melupakanku yang sudah melahirkannya, hanya karena aku miskin.”
                “Mustahil!” Umi berteriak jijik mendengar perubahan sifat Malin. Segera saja ia membawa Sang Ibu menuju rumahnya yang jauhnya hanya beberapa langkah sajaa. Umi segera menenangkan Sang Ibu.
                “Hey, ternyata pria tadi itu benar-benar anaknya,” bisik Malfoy.
                “Ya, dari percakapan mereka kita bisa tahu, bahwa pria bernama Malin itu pergi merantau untuk mencari uang, mungkin tadinya untuk ibunya, tapi karena yang ia dapat ternyata berlebih, ia jadi lupa diri dan melupakan tujuan utamanya,” balas Hermione yang berpikir dengan cepat.
                “Sekarang dia tinggal dikota sebelah. Entah itu menyakitkan atau tidak mendengar anak sendiri sudah dekat, tapi juga begitu jauh,” ucap Sang Ibu.
                “Kita harus segera kesana.”
                “Untuk apa?”
                “Untuk meyakinkan Malin bahwa kau adalah ibunya.”
                “Tidak usah diyakinkan. Untuk apa diyakinkan, dia sudah tahu kalau aku ibunya, dia hanya malu mengakui kalau aku ini ibunya yang miskin,” isak Sang Ibu.
                “Umi, bagaimanapun itu, kita harus mendatangi Malin. Kau tidak bisa hanya diam saja menerima keadaan terinjak oleh anakmu sendiri. Kita harus mencoba, barangkali sikap Malin bisa berubah, siapa yang tahu.”
                Sang Ibu tidak yakin dengan ucapan tetangga baiknya ini. Diamnya Sang Ibu adalah karena ragu, tapi Umi tetangganya ini menganggapnya tanda setuju. Ia segera menarik tangannya, “ayo, kita pergi sekarang.”
                Harry cs sibuk seketika bersiap mengikuti ibu Malin Kundang dari belakang. Jubah ajaibnya hampir tidak cukup menyembunyikan mereka berempat, membuat mereka harus berjalan benar merapat, tapi juga berantakan karena masing-masing tidak leluasa bergerak.
                Sang Ibu dan Umi melirik kebelakang karena merasa ada yang mengikuti, tapi mereka tidak mendapati apapun, sepi. Harry cs ketika itu mendadak berhenti, mereka bahkan berhenti bernafas karena takut suara nafas mereka terdengar.
                Kedua wanita yang sudah cukup tua itu mulai melupakan kecurigaan mereka dan mulai berjalan kedepan. Harry cs seketika bisa bernafas lega, setelah itu mulai berjalan mengikuti dengan ekstra hati-hati.
                Semakin jauh, jalanan semakin padat penduduk. Harry cs takut keberadaan mereka akan diketahui penduduk karena jalanan yang dipenuhi penduduk sekitar. Akhirnya dengan susah payah, mereka mencapai pinggiran jalan yang dipenuhi semak, membuat mereka semakin sulit untuk berjalan bersama dalam satu jubah.
                “Kenapa si Malfoy bisa ada disini, sich? Kita jadi sulit bergerak,” gerutu Ron.
                Shut up, or I’ll give you spider!” balas Malfoy santai namun sengit.
                “Darimana dia tahu kalau aku benci laba-laba?” dengan susah payah Ron berbisik bertanya Harry dan Hermione. Tapi kedua temannya itu tidak menjawab melainkan hanya bisa memandang Ron dengan pandangan simpatik. Kalau mereka mengucapkan sesuatu, mereka takut tak bisa menahan tawa mereka.
                Cukup lama mereka berjalan, membuat Harry bosan. Sesaat Harry sempat menyesal kenapa tempat ini yang mereka akhirnya mereka datangi, ia tidak merasa mempelajari sesuatu, dan ia tidak suka drama antara ibu dan anak ini.
Pada akhirnya mereka sampai didepan sebuah gerbang yang megah. Tak seperti dinegerinya Harry, Inggris, yang jika terdapat sebuah tempat yang megah, maka gerbangnya pun akan juga megah, tempat ini berpagar tidak terlalu tinggi, tapi rumah dibalik pagar itu adalah benar megah dengan gaya khas daerahnya.
                Beberapa kali Harry cs melihat gaya rumah yang sama disepanjang jalan, tapi inilah yang terindah. Atapnya melengkung dengan kedua ujung mengarah kelangit, banyak ornamen kayu terukir indah disetiap jendela dan pintu. Rumah ini bagaikan rumah sihir versi lain dalam satu negara.
                “Aku ingin bertemu Malin,” ucap sang Ibu kepada salah satu penjaga gerbang. Ucapannya itu membuyarkan kekaguman Harry pada design rumah dan suasana sekitar.
                “Siapa kau? Untuk apa kau ingin menemui Tuan kami?”
                “Aku ini ibunya.”
                Sang penjaga melirik temannya yang juga penjaga gerbang, pikiran mereka sama, apa yang dipikirkan oleh wanita tua renta ini hingga berani menyebut tuannya yang kaya raya sebagai anaknya. Jika wanita ini penipu, maka ia adalah penipu yang bodoh.
                “Benar, ia adalah ibu dari Malin Kundang. Malin bertahun-tahun yang lalu merantau meninggalkan ibunya, tapi berjanji untuk kembali,” bela Umi.
                Kedua penjaga itu merasa geli mendengar penjelasan singkat dari Umi. Mereka penipu yang bodoh tapi sekaligus pintar berakting, wanita yang mengaku ibu dari Tuan Malin ini nyaris menangis.
                “Kalian butuh uang, ini aku beri,” ucap penjaga pertama sambil memberi beberapa koin pada sang Ibu.
                “Apa? Tidak, aku tidak butuh ini, aku hanya ingin bertemu anaku. Tolong, pertemukan aku dengan Malin.”
                “Tuan kami bukan orang sembarangan, lebih baik kalian cepat pergi dari sini.”
                “Kalian pasti tidak percaya kalau wanita ini ada benar ibu Malin Kundang,” sela Umi. “Kalian harus mempertemukan mereka. Mereka adalah benar ibu dan anak.”
                “Maliiin, Maliiiin...” teriak sang Ibu sambil mendekati pagar.
                “Kalian ini, salah satu penjaga itu marah. “Sudah diperlakukan baik, malah tidak tahu diri. Cepat pergi dari sini!” ia meraih tangan sang Ibu menjauhkannya dari pagar.
                Hermione gemas melihat keadaan didepan matanya, “ kita tidak bisa diam saja.”
                “Kita tidak boleh melakukan sesuatu yang bisa mengubah sejarah, kau ingat?” ucap Harry tergesa. Ia pun tidak suka melihat keadaan didepannya. Kenapa wanita itu begitu keras kepala, lanjutkan saja hidupnya tanpa harus memperdulikan anak yang tidak tahu diri itu.
                “Jadi kita akan melihat saja seperti ini?”
                “Apa yang kau sarankan, setahuku bukan aku yang memutuskan untuk mendatangi tempat ini,” Harry mulai kesal.
                “Ada apa ini?” dan muncullah pelakon utama dari drama ini. Malin Kundang berdiri angkuh didalam pagar. Ia melangkah maju mendekati penjaga.
                “Ada seorang wanita yang mengaku sebagai ibu anda, Tuan.”
                “Eh, kau lagi,” ucap Malin Kundang sadar akan siapa yang berdiri rapuh dihadapannya.
                “Malin, jangan katakan kau masih belum mengingat ibumu ini, nak. Katakan kalau kau memang benar Malinku,” sang Ibu sudah terisap ketika menjawab.
                “Sudah aku bilang, kau salah orang. Carilah orang lain, aku tidak mungkin punya ibu seperti dirimu.”
                “Kenapa kau berkata seperti itu?” sela Umi. “Jika memang dia bukan ibumu, lantas siapa ibumu? Perlihatkan kepada kami.”
                “Aku tidak punya ibu!” jawab Malin lantang, membuat kedua wanita dan Harry cs terkejut. “Lagipula menurut kalian, kalian itu siapa, sampai aku harus menurut dan memperlihatkan ibu kandungku.”
                “Malin, kenapa kau tega pada ibu, nak?” tangis sang Ibu.
                “Ah, sudahlah. Dasar wanita miskin tidak tahu diri. Jika ingin mengemis, mengemislah. Tak perlu kau buang waktu mengaku sebagai ibuku,” Malin berteriak membuat semua mata terbelalak, bahkan kedua penjaga gerbang terkejut dengan amarahnya.
                “Ini uang buat kalian, untuk menutupi mulut-mulut dan pikiran yang kotor,” Malin melempar sejumlah koin ke wajah sang Ibu dan Umi.
                Hina. Seorang ibu yang dihinakan anaknya. Sang Ibu merasa hina, lebih hina daripada yang terhina. Matanya kini menjadi lebih merah, isaknya terhenti. Tubuhnya gemetar menahan amarah yang terpendam.
                “Kau anak durhaka, Malin.”
                Malin tertawa sinis. Ia berbalik dan hendak masuk menjauhi ibunya.
                “Aku tidak pernah menyangka sedikit apapun kalau kau akan berubah seperti ini. Aku tidak menginginkan hartamu, aku tidak pernah keberatan jika seandainya kau kembali dan tak membawa uang sedikitpun asalkan kau selamat.”
                Malin tidak mau mendengarkan. Ia malu mengakui ibunya yang miskin ini, kepada istri dan anak buahnya.
                “Pria ini berengsek,” bisik Malfoy menyadarkan ketiga lainnya, mereka seperti menyaksikan film drama di tv layar besar versi 3D. Harry, Hermione dan Roy lebih terkejut lagi mendengar komentar Malfoy barusan, karena ia biasanya menikmati pertunjukan macam ini.
                “Biarlah, mari kita pulang saja,” ucap Umi menarik tangan sang Ibu pelan. Ternyata pipinya sudah basah, ikut menangis akan drama dari anak sahabatnya.
                “Aku seorang ibu,” lanjut sang Ibu tidak menghiraukan ajakan Umi, dimatanya hanya ada Malin, anak durhaka yang menghinanya. “Aku seorang ibu, ibumu, yang tidak akan pernah memaafkan sikapmu ini, dan aku tidak akan pernah melupakannya sampai aku mati nanti. Aku menyesal melahirkan anak sepertimu,” teriaknya begitu membahana, sampai-sampai airmatanya terhenti karena emosi yang ditahannya, hingga matanya begitu merah karena panas yang merasuk.
                “Pergilaah,” teriak Malin asal tanpa menolehkan wajahnya.
                Kau.. Terkutuk kau Malin. Aku harap kau membatu saja, seperti hatimu yang seperti batu!” teriak yang sejadi-jadinya, dan mungkin teriakan terlantang yang pernah ia alami.
                Malin berhenti. Ia melihat kakinya. Tidak ada yang terjadi. “Omong kosong!celoteh Malin santai sambil melirik sang Ibu, lalu tertawa.
                Tidak ada lagi yang bisa Sang Ibu katakan, ia hanya bisa menahan geram yang luar biasa. Tidak bisa memikirkan apa-apa, berkata apa-apa, bahkan bergerak.
                Tidak sedikitpun Malin menoleh setelah itu, tangannya tergenggam dibelakang punggungnya dan ia berjalan dengan santai.
                “Grr! Aku tidak tahan,” bisik Malfoy tertahan, ia menahan emosi. Sesuatu yang diluar kendali memaksa Malfoy mengangkat tongkat sihirnya, dan ia pun berteriak. “Rockiciatus!”
                “No, Malfoy!” cegah Harry.
                Terlambat. Malfoy sudah mengucapkan mantra itu dan tongkatnya sudah menyalurkan kekuatan sihir itu.
                Malin yang kembali melangkah kedalam, tiba-tiba saja merasa kakinya menjadi berat. Ia melihat apa yang terjadi dengan kakinya. Tidak terjadi apa-apa, tapi kenapa bisa berat begini?
                Ketika mencoba berjalan beberapa langkah lagi, kakinya semakin sulit digerakan, ia menyeret-nyeret kakinya, ingin segera pergi dari situ karena ia tidak ingin kedua wanita dibelakangnya tahu kalau ia tiba-tiba sulit berjalan.
                Pada langkah terakhir, Malin benar-benar tidak bisa menggerakan kakinya. Ia melihat lagi ada apa dengan kakinya. Kali ini, Malin terkejut karena perubahan kakinya. Kakinya perlahan berwarna seperti batu, menjalar perlahan sampai kepaha.
                “Apa ini? Kalian tolong aku!” teriak Malin panik, pada penjaga gerbangnya.
                Kedua penjaga segera mendekati, tapi mereka bingung, tidak tahu harus berbuat apa dengan keanehan yang terjadi pada tuan mereka, mereka tidak berani menyentuh, karena selain dalam kehidupan sehari-hari pun tidak ada yang berani menyentuh Malin Kundang selain istrinya, mereka juga takut kalau-kalau keanehan itu akan tertular pada mereka.
                “Malfoy, kau bodoh sekali! Apa kau tahu apa yang baru saja kau lakukan?!” bisik Ron dengan penekanan kata yang jelas, hasil dari ingin berteriak tapi tidak bisa.
                “Kau tidak boleh melakukan sesuatu yang bisa mengubah sejarah, Malfoy!” kali ini Hermione mendukung Ron. Harry pun setuju dengan kedua sahabatnya, ia memang kesal melihat tingkah laku pria bernama Malin itu, tapi ia tidak dalam kuasa bisa mengubah sesuatu disitu. Walaupun begitu, Harry tidak mengatakan apa-apa.
                “Curse you, fool!” Malfoy menurunkan tongkatnya, seperti tidak mendengar ucapan-ucapan protes dari Ron dan Hermione. Wajahnya sangat khas seorang Lucious ketika sedang murka.
                “Ayo kita pergi dari sini,” tanpa memperdulikan peraturan dari time traveler dan Harry cs, Malfoy menyibak jubah, dan berjalan menjauh. Ia tidak perduli jika ada seseorang dari masa itu yang melihatnya, ia tidak perduli bahkan jika ia dikatakan alien, ia hanya tidak tahan menyaksikan drama ini.
                Why yoouuu!” Ron menggeram. “Why on earth did he come with us!”
                “Kita harus pergi, Harry. Malfoy akan mengacaukan time traveler dengan sikapnya ini,” ucap Hermione was-was. Untung saja tidak ada orang yang melihat Malfoy berjalan.
                Harry hanya menggangguk tanpa mengucapkan apa-apa. Sebelum mereka benar-benar pergi, mereka melihat Sang Ibu untuk yang terakhir kalinya. Malin masih berteriak-teriak, beberapa penjaga rumah berdatangan dan mereka panik, tidak tahu harus berbuat apa. Sudah ada seorang wanita disana, menangis dan menjerit memohon ampun pada wanita yang ditunjuk-tunjuk Malin. Wanita itu sepertinya sandingan Malin Kundang, cantik dan anggun dengan pakaian khasnya. Sedangkan Malin, setengah badannya sudah berubah menjadi batu.
                Harry berbalik dan melangkah menjauh. Baru selangkah mereka berjalan, mereka mendengar sesuatu yang mengejutkan.
                “Ibu..ibu..”
                Harry cs berbalik, Malin meratap. Tangannya mencoba meraih sang Ibu, wajahnya mengisyaratkan penyesalan yang dalam, tapi Sang Ibu terlanjur membalikan badan. Ratapan Malin pun tak ia hiraukan, hatinya terlanjur hancur, tak mungkin dikembalikan seperti semula.
                Harry cs berpandangan, mereka senang mendengar Malin akhirnya mengakui ibunya, walaupun sudah terlambat. Mereka menyesali keadaan itu, tapi tak ada yang bisa mereka lakukan, Malfoy sudah melanggar aturan, mereka tidak mungkin menambahkannya lagi. Lalu mereka pergi, tergesa menyusul Malfoy dan langsung menutupi Malfoy dengan jubah.
                “Bagaimana kita pergi dari sini?” tanya Harry pada Hermione. Mereka sama-sama pertama menggunakan time traveler, tapi hanya Hermione yang tahu bagaimana mereka bisa kembali ke Hogwarts.
                “This is your journey – ini perjalananmu, kau yang bisa membuat kita kembali. Jika kau ingin kita kembali, maka kita akan kembali.”
                Harry nampak tidak begitu yakin dengan jawaban Hermione. Hatinya memang ingin segera kembali ke Hogwarts, tapi...   
                Sretttttt...!!!
                Sesuatu menarik mereka berempat. Sesuatu itu adalah keinginan Harry. Begitu dia menginginkannya, ia akan terhisap kembali ketempat yang bisa ia katakan ‘home’.
                Mereka terjatuh dihalaman, persis jarak antara kastil Hogwarts dan gubuk Hagrid.
                Hagrid disana sedang menebas buah seukuran setengah badannya. Ia melihat Harry cs jatuh disana. Agar bisa melihat lebih jelas, ia menghalau cahaya siang yang cerah dengan tangan kanannya yang gempal, diatas matanya.
                “Hey, Harry! Is everything allright there?” Hagrid merasa lebih aneh lagi ketika mendapati Malfoy sedang bersama mereka.
                “Yeah, we’re fine,” jawab Harry sambil berdiri.
                Bloody hell, tidak perduli dimanapun, kau selalu berbuat bodoh, Malfoy,” gerutu Ron. Ia tidak sadar sedang mendapat tatapan aneh dari Hermione, karena biasanya Ron lah yang selalu melakukan hal bodoh. Dimanapun.
                “Sudahlah, yang penting kita sampai di Hogwarts. Lain kali jika kita mendapat kesempatan lain menggunakan time traveller, akan kita gunakan dengan lebih baik lagi. Aku akan lebih matang lagi memikirkannya,” ucap Harry.
                Hermione menatap Malfoy, tidak ada ucapan balasan darinya. Ia hanya diam membersihkan debu-debu yang menempel dijubahnya ketika ia mendarat tadi.
                Malfoy berbalik dan menjauh. Ia ingin segera sampai diasramanya, Slytherin.
                Hermione menarik nafas kesal. Cowok ini, selain tidak tahu cara berterimakasih, ia juga tidak tahu bagaimana membuat sesuatu berjalan semestinya. Bahkan untuk pamit, mungkin tidak pernah ada dalam pikirannya, terutama pada dirinya seorang muggle yang sangat dibenci Malfoy.
                “Sorry,” tiba-tiba Malfoy berhenti. Ia tidak membalikan badannya, mungkin ia terlalu malu melakukan hal itu, atau mungkin ia tidak ingin Harry cs melihat ekspresi wajahnya saat itu, sedih. “Maaf atas kekacauan ini. Aku tahu kalau Dumbledore bahkan mungkin sudah tahu tentang pelanggaran ini, dan mungkin menyebabkan kalian diinterogasi, termasuk aku.”
                “Aku hanya benci melihat pria itu. Aku benci bagaimana ia memperlakukan ibunya. All my life, meskipun aku pernah menjadi pengikut You-Know-Who, meskipun aku membenci Harry dan The Weasley, meskipun aku membenci Muggles, tapi aku tidak pernah – tidak pernah, memperlakukan ibuku seperti itu. I cant help it,” Malfoy lalu benar-benar melangkah pergi.
                Harry cs terdiam, mungkin ini adalah kata-kata paling jujur dari seorang Lucious Malfoy seumur hidup mereka mengenalnya.
                Benar juga, jika Harry mengingat masa-masa bagaimana ia bersiteru dengan Malfoy, Harry ingat bagaimana ibunya begitu melindungi Malfoy, bagaimana ibunya mengorbankan dirinya sendiri demi agar anaknya tidak terpilih melakukan pengorbanan terhadap Voldemort. And surprisingly, Malfoy adalah anak yang menyayangi ibunya.
                “Well, setidaknya perjalanan ini membawa pelajaran tersendiri untuk Malfoy, bukan begitu?” tanya Hermione akhirnya tersenyum.
                “Aku benci mengatakan ini, tapi kau benar,” balas Ron, tanpa senyum.
                Berbeda dengan Ron, Harry tersenyum. “Ya kau benar. Tidak begitu sia-sia bukan? Ini mungkin perjalananku, tapi ini lebih pada perjalanannya. Ayo,” Harry tiba-tiba merasa bersemangat menatap kedua sahabatnya,” kita ke gubuk Hagrid.
                “Agree!” jawab Hermione.
                “C’mon!” Ron menimpali.
                Mereka lalu berjalan menuju Hagrid, saling merangkul. Hagrid ikut tersenyum menyadari tidak ada sesuatu yang aneh pada Harry cs. The sky looks brighter than a few seconds ago.