Wednesday 7 March 2012

Lost in Manhattan


Tina tiba di Manhattan. Sungguh membuat jantung berdebar mengingat dikotanya sendiri Tina bisa tersesat, apalagi disini.
Tina melihat Taxi kuning bertengger dipinggir stasiun. Langsung saja Tina masuk kedalam Taxi itu sambil menyeret travel bagnya. Tina berniat memberikan kertas berisikan alamat yang ditujunya pada supir. Tina hendak melanjutkan studinya di Manhattan dan tinggal di asrama.
Tidak ada supir didalam Taxi itu. Tina melihat-lihat keluar mencari-cari supir Taxi. Tina tidak tahu apakah supir disitu memakai seragam yang sama dengan warna taxinya, seperti dikotanya,Bandung, tapi Tina tidak menemukan seorang pun memakai baju berwarna kuning disitu.
Tina menunggu beberapa menit didalam Taxi, siapa tahu supirnya sedang kekamar kecil atau semacamnya. Beberapa menit berlalu tapi supir Taxi itu belum datang juga, membuat Tina kesal.
Tiba-tiba seseorang masuk dan segera mengemudikan Taxi itu dengan perlahan. Inilah supirnya. Dia berkulit hitam, berbaju merah terang, dan berambut gimbal. Rambutnya diikat keatas hingga terlihat seperti bunga mekar.
Aneh juga supir itu tidak menanyakan kemana tujuan Tina. Tina menunggu sampai Taxi itu keluar dari kawasan stasiun, barangkali dari situ dia akan bertanya.
Exuse me, Sir”, Tina menepuk bahu supir itu.
Yeah?”, supir itu menoleh sekilas kebelakang, lalu kedepan, lalu kebelakang lagi dengan cepat, “WHAT??!!”.
Tina mundur dengan cepat kebelakang karena terkejut.
“Bagaimana kau bisa masuk kesini?”, Tanya supir itu. Dia sangat menyeramkan (menurut Tina), apalagi dengan kulit hitam yang tidak ada manis-manisnya itu.
“Hanya..tinggal membuka pintunya saja, Sir. Jika itu maksudmu”, jawab Tina gugup.
“Oh, shit! Ini bukan taxi, Nona!”.
“Bukan taxi?”, Tanya Tina bingung.
“Maksudku, ya ini taxi, tapi..libur hari ini”.
“Libur? Tapi saya lihat taxi ini diam didepan stasiun, jadi saya kira..”, Tina sengaja menggantungkan ucapannya.
“Ok, Ok”, supir itu melambai-lambaikan tangannya tanda tidak mau berdebat. “Kau mau pergi kemana?”.
Tina memberikan kertas berisikan alamat dengan takut. Pria itu mengambilnya dengan cepat dan membacanya.
“What?! Oh, man! Tempat ini jauh sekali. Damn far!”, lalu supir itu melemparkan kertas itu kebelakang. Tina mengambilnya sambil menggerutu.
“Jadi bisakah Anda mengantar saya ketempat itu, Sir?”.
Later, Ok-nanti. Aku janji. Kau lihat mobil itu? Yang berwarna hitam”.
“Ya”, jawab Tina bingung.
“Aku harus membuntuti mobil itu sekarang. Ini darurat, ok. Jadi sabar saja. Kalau tidak kau harus turun disini”.
Apa? Menurunkan Tina ditengah-tengah kota yang padat ini? No Way!
“Tidak, Sir. Saya ikut bersama Anda”, mudah-mudahan, supir ini menepati janjinya. Tapi sebenarnya supir ini sedang apa, sih? Pikir Tina.
Good girl! Aku bukan supir taxi, tapi aku butuh taxi ini untuk membuntuti seseorang supaya mereka tidak curiga. Aku antar kau nanti”.
Oh, wow! Bad for Tina.
Lalu supir itu melanjutkan konsentrasinya mengejar mobil hitam yang ada tepat dihadapan taxi tersebut. Dua-duanya melaju dengan kecepatan normal.
Sampailah mereka dikawasan China Town (Tina lupa semua, dan menikmati pemandangan China Town seolah dia sedang tour didalam mobil). Mobil hitam itu berhenti disebuah bangunan yang bertembok tinggi, dengan pintu gerbang khas China, besar dan kokoh berwarna merah. Dari mobil itu keluar 3 orang berambut hitam dan bermata sipit dengan pakaian yang serba hitam. Salah satunya, yang berjenggot pendek sedang merokok.
Setelah itu dari gerbang keluar beberapa orang . Pria yang sedang merokok itu membicarakan sesuatu dengan orang-orang yang baru keluar itu, lalu beberapa dari mereka melihat kearah taxi.
Oh, shit!”, teriak si supir. Dia langsung memundurkan taxi dan berbalik arah dengan cepat sampai mengeluarkan bunyi decitan, dan segera pergi. “Mereka tahu kita”.
“Kita?”.
Beberepa dari pria berbaju hitam itu lari mengejar taxi kuning itu, sebagian lagi mengejar menggunakan mobil.
“Ya, ampun! Ada apa ini?”, teriak Tina dalam bahasa Indonesia.
Supir itu bingung mendengar Tina bicara. Tapi bukan saatnya untuk wawancara, saatnya untuk lari dari sarang macan.
“Apa yang terjadi, Sir?”.
“Aku jelaskan nanti. Dan tolong, jangan panggil aku Sir. Aku alergi mendengarnya. Panggil aku A.J”.
Ha! Bagus sekali. Perkenalan disela-sela kecepatan tinggi.
What’s your name, fella?”.
Tina bingung, “namaku bukan fella, Sir, maksudku A.J. Namaku Tina”, jawab Tina tidak mengerti kalau maksud A.J dengan fella itu adalah teman.
A.J membelok tajam kekiri, dan Tina jatuh kekanan. Lalu Tina buru-buru memakai sabuk pengaman.
“Kau berasal darimana?”, Tanya A.J.
“Indonesia”.
“Wow. Bali, huh?”, ucap A.J tertawa sambil kembali membelok dengan tajam. Tina terbanting lagi, hanya saja kali ini sabuk pengaman menyelamatkannya. “Apa yang kau lakukan di Amerika? Berlibur?”.
           “Tidak. Saya berencana untuk kuliah disini”.
          “Wow! Ngomong-ngomong soal kuliah, aku juga berencana untuk kuliah. Aku sudah menabung, khusus untuk pendidikanku”.
           Tina tidak tahu harus berkomentar apa.
           “Oh my God, kita kehabisan bensin!”, teriak A.J.
           “Apa?”.
           “Kita harus berhenti disini!” A.J belok dan masuk ke sebuah gank yg pinggir-pinggirnya merupakan sebuah gedung tinggi. “Sekarang keluarlah!”.
           Tina terus menerus melantunkan doa dalam hatinya. Sekarang dia harus keluar dari taxi menghindari genk mafia.
           “Lari! Lari! Ikuti aku!”.
           “Tapi tasku?”.
           “Tinggalkan saja!”.
           “Apa? Tapi didalamnya ada uang, paspor dan...”.
          A.J mencekal lengan Tina. “Mereka melihatmu bersamaku, sekarang kalau kau ingin selamat, ikuti aku, Ok! Kita akan mengurus soal paspor dan yang lainnya nanti,ok!”.
          Tina sangat bingung, tapi tidak bisa menjawab (A.J benar-benara menyeramkan). A.J mengartikannya sebagai tanda setuju.
         “Sekarang lariii!”, A.J menarik tangan Tina dan berlari sekencang mungkin melewati keramaian.
          1 dari 2 mobil yang mengejar mereka, segera keluar dari mobil dan berlari mengejar. Mereka berlari tidak kalah cepat.
Kemudian A.J berbelok kearah jalanan yang lebih kecil. “Aku tahu jalan pintas disini. Ayo!”.
Ya, Tuhan! Dosa apa sampai harus mengalami kejadian seperti ini, rintih Tina.
Di jalan itu terdapat sebuah apartemen, sisi sebelah kiri dari gedung apartemen itu terdapat tangga yang bisa ditarik keatas. A.J menyuruh Tina untuk menaiki tangga itu.
“Ayo, cepat! Kau duluan”.
Tina mengikuti apa yang diperintahkan A.J, lalu A.J menyusul dibelakang Tina. Setelah sampai di lantai 1, A.J segera menarik tangga itu keatas. Tina melihat orang-orang berbaju hitam dibawahnya. Sebagian memutuskan untuk berjaga disitu, sebagian lagi berlari kepintu depan.
“Ayo, cepat!”, A.J menyerobot duluan, sehingga A.J kini didepan Tina. A.J membuka pintu dari lantai itu dan mendapati sepasang kakek-nenek yang sedang asyik nonton dan merajut. Mereka berdua tampak begitu terkejut. Saking terkejutnya mereka tidak bisa berkata apa-apa, hanya menganga.
“Permisi, he..he..”, ucap A.J terkekeh malu (atau tak tahu malu).
“Maaf, menganggu”, Tina ikut minta maaf, lalu mereka keluar lewat pintu depan apartemen kakek-nenek itu.
“Kita harus cepat!”.
“Hey, A.J”, tiba-tiba seseorang memanggil nama A.J.
A.J melongo bingung dan kaget. “Hey, Leo?”.
Tina, melihat apa yang dilihat A.J, 1 pria menyeramkan lainnya didampingi seorang cewek yang juga berkulit hitam. Dia berkepala botak, dan tubuh berotot. Tina bisa melihat tonjolan-tonjolan otot diperutnya. Dia menengteng T-shirtnya, dan memakai celana jeans kedodoran. Dia juga bertato.
Watchu doin here?”, Tanya orang bernama Alex itu.
“He..he.., cuman jalan-jalan. Dan kau, apa yang kau lakukan disini?”
“Aku tinggal disini. Tidak ingat, ya?”, jawab Alex dengan suara basnya yang tenang. “Kau ingin bertemu Maia lagi?”, cewek dibelakangnya tersenyum meremehkan.
“Oh! No, no, no. Aku hanya main-main waktu itu. He..he..he.. Lagi pula aku punya cewek baru”, A.J terlihat ragu-ragu, tapi berusaha tertawa.
Girlfriend? Who?”.
A.J segera merangkul Tina, “ini cewekku. Isn’t she hot, maaan?!”. A.J mencubit pundak Tina untuk ikut bersandiwara.
Alex mengusap-usap dagunya, nampak tertarik pada Tina. “Ya. Darimana kau dapatkan dia?”.
“Oh, itu rahasia, he..he..”. Tina memandang kesal pada A.J, tapi A.J malah mencubitnya lagi.
Anyway, mana uangku?”, tanya Alex sedikit seram.
“Uangmu? Oh, ya. Uangmu.., tertinggal dirumah. Aku bawakan nanti, Ok!”.
“Tertinggal dirumah? Aku pikir kau akan bayar hutangmu hari ini?”.
“Ya, memang, memang. Tapi, kau tahu kan, cewekku mengajak kencan. Jadi, hmm.., kau tahulah! He..he..”.
“Kau jangan macam-macam denganku, A.J!”.
“Tidak, tidak..”, ketika A.J mau menjawab, pria-pria berbaju hitam muncul ditangga. “Oh, no!!”, A.J segera menarik lengan Tina dan berlari menuju arah yang berlawanan.
“Hey, mau kemana kau?!”, teriak Alex marah.
“Aku akan kembali”, balas A.J berteriak.
Oh, no! You’re goin no where!”, Alex melempar T-shirtnya dan segera berlari mengejar A.J
“Aaaargh”, Tina menjerit.
Oh, Jesus! What a bad day!”, gumam A.J sambil terus berlari.
Orang ini kriminal, pikir Tina.
Keluar dari pintu samping gedung apartemen, A.J berlari menuju gang lainnya, dipinggir-pinggirnya terdapat banyak sampah. A.J dan Tina berlari secepat mungkin sambil sesekali menengok kebelakang. Alex dan 4 orang berbaju hitam lainnya masih mengejar.
Gang kecil itu menembus kesebuah jalan besar. Sebelum A.J dan Tina sampai diujung gang itu, beberapa orang berkulit hitam (lagi), muncul disalah satu pintu. A.J mendadak memejamkan matanya, kesal dan menggerutu dalam hati atas kesialan-kesialan hari ini.
“Aku tidak punya pilihan lain, man. Aku tidak punya pilihan”, gumam A.J pada dirinya sendiri. Tina bingung.
“Hey! Itu A.J!”, teriak orang-orang yang baru keluar itu.
Oh, Gosh! What now?!”, rintih Tina letih.
Orang-orang iu mencekal A.J dan Tina.
“Hey, hey! Apa-apan ini?”, teriak Tina dalam bahasa Indonesia.
Relax, they are my hommies-mereka temanku”, ucap A.J tersenyum terpaksa, seolah mengerti ucapan Tina.
Hommies? They act like enemies! - teman? Mereka seperti musuh saja!”.
Orang-orang itu membawa A.J dan Tina masuk kepintu dimana tadi mereka keluar. Suasana didalam seperti gudang dan gelap. Hanya ada beberapa lampu kuning memanjang keruangan berikutnya. Akhirnya mereka sampai kesatu ruangan gelap. Yang hanya ada satu penerangan diatas meja bertumpuk kartu-kartu.
Hello, A.J. What’s up?”
Tina bergidik melihat orang yang bicara itu. Dia sangat besar dan gemuk, kulit hitam berminyak, kalung yang besar-besar, termasuk gelang dan cincin yang besar-besar.
Cekalan orang-orang tadi kini terlepas, supaya A.J dan Tina bisa leluasa bicara dengan bosnya.
Hey, Big Daddy! How’s goin on?”, tanya A. J tertawa bodoh, dan seolah ia akrab dengan orang ini.
Orang yang dipanggil Bid Daddy itu memainkan kartu ditangannya dan menjawab dengan santai tanpa memandang A.J. “Seperti yang kau lihat, A.J”.
“Oh, hehe..”, A.J terkekeh, tapi terlihat sekali dia sedang bingung dan tegang.
“So, kau bawa uangku?”. Tanya Big daddy.
“Oh, uang itu, tertinggal dirumah”, jawab A.J seperti alasannya pada Alex.
“Tertinggal dirumah?”, tanyanya tetap tenang. Tapi ada kengerian pada ucapannya.
“Well, itu karena, aku tidak berencana untuk menemuimu siang ini”.
“Kau tidak berencana menemuiku?”, nada bicaranya naik, membuat A.J lebih tegang dari sebelumnya.
“Maksudku, ya, aku berencana menemuimu. Tapi bukan siang ini, nanti malam maksudku. Aku ada pekerjaan ”, jawab A.J gugup.
“Dan apa itu”, tanyanya sangat tenang.
“Ah, bukan apa-apa. He..he..”.
Try me”.
“Em..”, keringat dingin bermunculan. Tina menatap A.J menunggu jawaban pasti supaya dia bisa cepat-cepat keluar dari sini.
“Kami mencoba untuk mencuri uang dari Ayahku”, tiba-tiba Tina bersuara. A.J kaget, matanya melotot. Kali ini Big Daddy langsung melirik Tina. Tina bergidik. Orang ini menyeramkan sekali.
“Mencuri uang dari Ayahmu? Apa aku tidak salah dengar”.
“Benar. Dia butuh uang dan aku juga butuh uang. Tidak mungkin kami mencuri dari bank, kan?! Terlalu beresiko. Jadi aku mengajaknya mencuri uang Ayahku”.
“Ayahmu kaya?”.
“Tidak juga. Tapi dia punya uang tersimpan disuatu tempat”.
“Dimana?”.
“Itu rahasiaku!”, jawab Tina sedikit membentak.
Bid Daddy tertawa. “Seseorang tolong, apakah aku harus mempercayainya?”, anak buahnya ikut tertawa.
“Sebaiknya kau percaya. Kalu tidak, kau tidak akan mendapatkan uangmu” Tina menjawab menantang.
Big Daddy berhenti tertawa. Gantinya dia memandangi Tina dengan sangat menyeramkan, lalu berganti ke arah A.J. “Kau tidak harus membayarku, A.J”.
“Apa?”, A.Ja membelalak kesenangan.
“Tapi tinggalkan gadis ini disini. Dan sebagai bonus, aku akan memberimu 500 dollar”.
Tina dan A.J terkejut. Lebih terkejut lagi ketika A.J menatapnya dengan pandangan mata tertarik pada tawaran Big Daddy. Tina langsung menyerbu A.J dan memukuli dadanya, “No! No way! Kau tidak bisa melakukan itu! Kau yang membuatku terlibat”, teriak Tina histeris.
“Wo..wo..wo.., calm down, lady. Aku hanya main-main”, A.J tertawa seperti sedang menyaksikan pertunjukan komedi. “Tidak bisa hidup tanpaku, ya?”, A.J memainkan alis matanya naik turun. “Sorry, Big Daddy. Tapi kami akan menjalankan rencana semula kami. Aku janji, aku akan menbayar hutangku hari ini juga”.
“Dan jika tidak?”.
“Anak buahmu ada dimana-mana. Kau tidak perlu takut kehilanganku”, A.J berseringai memperlihatkan giginya yang putih yang kontras dengan kulitnya.
“Biar aku perjelas lagi”, Big Daddy bersandar pada kursinya. Perutnya ternyata besar. “Jika malam ini, sebelum jam 12 malam kau belum membayar hutangmu, kau habis!”, ucapanya membuat gerakan seperti memotong leher.
A.J menelan ludah ngeri.
“Kau juga, young lady”.
Oh, Gosh. Aku sudah terlibat jauh, pikir Tina.
Akhirnya mereka mengeluarkan Tina dan A.J, kasar, terlempar seperti barang yang sudah tidak berguna.
Tina dan A.J mematung diluar. Lau Tina berteriak, “Aaaaargh, apa-apaan ini?! Baru saja datang ke Amerika langsung dapat paket kiriman sial bertubi-tubi. Aku cuman mau melanjutkan kuliahku saja, kenapa ujungnya jadi seperti ini?! Kau yang membuatku seperti ini, kau harus antar aku mengambil tasku, setelah itu aku tidak mau berurusan lagi denganmu!”, Tina terdiam, melihat A.J duduk pasrah, seperi mau menangis.
“Hey, ada apa denganmu?”, Tina ikut duduk.
A.J diam sejenak lalu manjawab, “ayo kita ambil tasmu, dan aku akan antar ketempat tujuanmu, ok”.
“Tapi kau…”.
“Tapi tolong, bantu aku sekali ini saja. Sekali saja, please”, rintih A.J.
“Jelaskan dulu, baru aku putuskan ya atau tidak”.

Tanpa menjelaskan A.J membawa Tina ke rumah sakit, dengan berjalan kaki. Sampai di rumah sakit, A.J membawa Tina ke sebuah ruangan. Disana terbaring seorang wanita tua yang agak gemuk. Tangannya diinfus.
A.J meraih tangan wanita itu. “Halo Bu. Bagaimana kabarmu hari ini?”.
Wanita yang ternyata ibu kandung A.J itu membuka matanya perlahan, dan menatap A.J dengan tatapan lemah.
“Tenang, Bu. Aku baik-baik saja, tidak berurusan lagi dengan genk-genk nakal”.
Tina sedikit kaget mendengarnya.
Ibu A.J mengerutkan kening, seperti tidak percaya.
You don’t believe me, Ma? Ini cewekku”, A.J menarik Tina dan merangkulnya. “Cantik, kan? Sudah kubilang aku baik-baik saja”.
Ibu A.J menatap Tina, Tina membalas dengan senyuman, lalu membungkuk mendekati dan membelai tangan Ibu A.J. “Ibu tenang saja. Saya akan menjaga A.J. Ibu bisa tenang”.
Ibu A.J senyum sedikit, lalu tertidur.

A.J menjelaskan bahwa sudah hampir 3 minggu Ibunya dirawat dirumah sakit. A.J terpaksa berhutang pada Leo dan Big daddy untuk membayar biaya rumah sakit Ibunya. Sayangnya Leo dan Big Daddy adalah tipe orang yang suka menaikan bunga pinjaman sekehendak hati, sedangkan uang tabungannya sekarang tidak cukup untuk biaya rumah sakit.
Sekarang A.J berniat untuk kembali ke China Town, untuk membebaskan sahabatnya yang bernama Derrick. Derrick bisa meminjamkan A.J uang sebesar 1.500 dollar.
“Kenapa kau tidak lapor polisi saja supaya temanmu bisa keluar”.
“Mereka akan menangkap Derrick juga, jadi aku tidak bisa pinjam uang darinya”.
“Aku akan menemanimu”, ucap Tina tiba-tiba.
“Apa?”.
“Maksudku, jika kau butuh teman”
Tanpa pikir panjang A.J langsung memeluk Tina sambil sengaja melakukan aksi pura-pura menangis. A.J malah terlihat konyol. “Oh, Tina. My friend. Aku tidak tahu apa yang harus aku lakukan tanpamu, teman. Hiks”.
Shut up!”, Tina menahan tawa sambil melapas pelukan A.J.
A.J dan Tina mendatangi gangster yang ada di China Town. Mereka terang-terangan datang kesana untuk membebaskan Derrick.
“Aku bebaskan temanmu dengan satu syarat”, ketua genk yang urat tangannya menonjol memperlihatkan 1 tas berwarna merah yang cukup besar. Isinya, obat terlarang.
Intinya A.J dan Tina, jam 9 malam, harus mengantarkan tas itu dan ditukar dengan uang. Tempat transaksinya di salah satu restoran cepat saji, didaerah Madison Garden.
A.J sempat mengeluh, kenapa tidak dilakukan saat itu juga (saat itu pukul 6). Ketua genk tersebut hanya tinggal melotot saja untuk membuat mulut cerewet A.J diam.
Setelah itu, selama kurang lebih 3 jam, A.J dan Tina berputar-putar sambil berhati-hati terhadap polisi yang ada disekitar. Sampai mereka kelelahan, mereka akhirnya duduk di kursi taman.
“Hey, Tina! Apa yang membuatmu membantuku? Aku bukan siapa-siapa”.
“Hmm.., aku membantumu, dan kau berikan aku 100 dollar”.
“What?”, teriak A.J sampai kepalanya mundur kebelakang. Tina tertawa.
“Aku bercanda”.
“Jesus. Kau hampir membuatku menjadi orang berhutang terbanyak didunia”.
“He..he… Aku tidak tahu, aku menyukai Ibumu. Dia pasti orang yang sangat baik dan penyayang”.
Ow, yes she is. Aku bukan apa-apa tanpanya”.
“Aku yakin itu. Hey, apa kau punya beberapa dollar?”.
“Untuk apa?”.
“Aku ingin membeli hotdog disana. Aku lapar sekali”, jawab Tina memegangi perutnya.
“Aku punya 4 dollar, Tak ada lagi. Huhuhuh.., kasihan sekali”.
“Kita pikirkan itu nanti. Dengan 4 dollar kita bisa membeli 2 hotdog, kan?”.
Right”, A.J mengangguk sambil menangisi dirinya sendiri.
Tina mengambil uang A.J dan segera membeli hotdog dipinggir taman. Ketika kembali, masih beberapa meter jauhnya dari A.J, Tina melihat polisi sedang mendekati A.J. keringat dingin mulai bermunculan disekitar kening Tina. Polisi itu sedang bercakap-cakap dengan A.J. A.J menepuk-nepuk tas merahnya sambil tertawa, sepertinya polisi itu berniat untuk memeriksa tas itu. Tina tahu A.J tegang, tapi A.J berusaha menyembunyikan kegugupannya.
Apa yang harus aku lakukan, pikir Tina.
“Toloong! Tolooooong!! Tasku dicopet”, Tina berteriak meminta tolong. Tentu saja Tina hanya berpura-pura, tapi keringat benar-benar membanjiri tubuhnya.
Semua orang tertuju pada Tina, termasuk polisi itu.
“Tasku dicuri! Tasku dicuri! Toloong!”.
Polisi itu segera berlari mendekati Tina. “Kearah mana pencuri itu, Mam?”.
Tina menunjuk ke arah yang berlawanan dengan A.J. “Kesana, kesana! Tolong, saya turis, paspor saya ada disana”.
“Ok. Tenang, Mam. Anda tunggu saja disini”. Polisi itu dengan tergesa segera berlari kearah yang ditunjuk Tina.
Lalu Tina dengan gerakan tangan tersembunyi segera menyuruh A.J untuk pergi. Setelah A.J berjalan menjauhi, Tina muai berjalan mengikuti A.J dari belakang tidak perduli beberapa pasang mata masih memperhatikannya.
“Fiuhh! Aku tadi benar-benar takut. Kalau aku tertangkap, aku tidak tahu bagaimana jadinya ibuku”.
“Ya, tapi sekarang sudah hampir jam 9. Kita harus segera pergi ke restoran itu. Ayo!”, ajak Tina sambil mengatur nafas.
A.J dan Tina menemukan restorannya. Mereka menunggu dikursi luar. Sepertinya orang yang dimaksud, dengan topi merah, belum datang.
Akhirnya setengah jam kemudian, seseorang bertopi merah datang mendekati mereka. “Kali mau kentang goreng, atau es krim?”, tanya cewek itu. Dia tidak mengenakan make up, tapi cantik, dan masih remaja.
“Es krim”, jawab Tina. Lalu mereka bertiga masuk kedalam restoran setelah mengatakan password masing-masing.
Cewek bertopi merah itu memesan 3 es krim, sedangkan A.J dan Tina duduk disalah satu meja. Tas merah sengaja disimpan diatas meja yang ukurannya kecil itu.
Tidak lama cewek itu datang, meletakkan es krimnya di meja, dan dan dia juga meletakkan tas berwarna hitam keperakan diatas meja, sehingga meja itu menjadi lebih sempit.
“Kau sendiri?”, tanya A.J
“Ya. Aku sudah biasa melakukannya”, jawabnya santai sambil menyuapkan sesendok es krim kemulutnya.
A.J dan Tina berpandangan tidak percaya. Cewek yang kelihatannya masih pelajar atau setidaknya mahasiswi itu terdengar begitu santai
“Ok. Tapi aku tidak mau berlama-lama disini. Ada pekerjaan menunggu. Jadi aku harus pergi sekarang”, ucap A.J.
“Ok. No problem”.
Ketika A.J hendak mengambil tas hitam, Tina mendahuluinya.
“Sebaiknya aku yang bawa. Ini tas cewek”, setelah itu Tina memeriksa isinya. Isinya uang, banyak sekali. “Haruskah kuhitung?”, tanya Tina bingung, bermaksud hati-hati. Tapi juga malas jika harus menghitung uang sebanyak itu, dan ditempat ini.
Cewek bertopi merah tertawa. “Tidak usah. Aku kenal bosmu. Kalau aku macam-macam, aku yang kena masalah. Tapi kalau kalian yang macam-macam, kalian yang kena masalah”.
Heik!
“Setelah ini, bos kalian akan menghubungiku. Tenang saja. Ini bukan pertama kalinya aku bertransaksi dengan bos kalian”.
“Thank you, tapi dia bukan bos kami”, ucap A.J senewen.
Tina dan A.J beranjak dari kursinya. Tina melihat kesekeliling. Beberapa orang melihatnya. Tina jadi sensitive karena sugesti, gelagatnya jadi aneh takut sebenarnya ada yang mengawasi transaksi gelap ini.
“Hei, jangan terlalu banyak memperhatikan orang. Kau bisa membuat dirimu sendiri salah tingkah”, ucap cewek itu. Tina hanya membalas dengan senyuman. Betul juga, pikir Tina.
30 menit menuju jam 11, Tina dan A.J baru sampai ke China Town. Maklum, mereka tidak punya uang untuk naik taxi. Mereka datang dengan sangat kelelahan.
Ketua gangster tertawa. “Bagus, bagus! Menggunakan orang luar memang lebih aman”.
“Sekarang dimana teman kami?”, tanya A.J.
“Tenang saja. Aku orang yang tepat janji. Dan ini..”, orang itu melemparkan gulungan uang yang diikat karet. “500 dollar sebagai bonus”.
“Wooo”, A.J berteriak girang sambil mengambil uang itu. “Oh, man! Ini pasti berguna sekali untukku. Thanks. Aku mau melakukan ini untuk 500 dollar, he..he..”.
Tina menyikut pinggang A.J, dan A.J langsung diam.
“Kalian tunggu saja diluar”, ucap ketua.
Tidak berapa lama ketika A.J dan Tina menunggu diluar gerbang, beberapa orang dari dalam gerbang tersebut melempar seseorang keluar.
“Oh, man!”, teriak A.J. mendekati temannya“Bagaimana keadaanmu?”, A.J membantu temannya, Derrick berdiri.
Mamamiaa.., Tina terkejut melihat Derrick. Bukan karena dia hitam dan menyeramkan seperti A.J, tapi justru karena dia begitu tampan. Dia berkulit putih dengan rambut cokelat dan mata hijau yang bening. Tina tertegun.
“Aku mengkhawatirkanmu, man. He..he..”.
Derrick membersihkan jaket kulit cokelat tuanya dari debu. “Well, thanks. Hey, siapa dia?”.
“Oh, dia teman baruku. Kenalkan”, A.J terhenti melihat Tina melamun. “Hei! Hei, hei, Tina!”.
“Hei, oh! What?”, jawab Tina tersentak.
What is a matter with you, man?”.
Tina tertawa konyol, sekonyol tawa A.J.
“Ini Derrick, sahabatku yang kuceritakan”. Lalu A.J beralih pada Derrick. “Namanya Tina. Dia pacarku”.
Tina memukul tangan A.J.
“Ouch. Kukira kau cewek”.
Tina memukul A.J lagi, lalu tanpa mempedulikan A.J lagi, Tina mengulurkan tangannya pada Derrick. “Hai, senang melihatmu, akhirnya”, ucap Tina diiringi tawa Derrick.
“Aku yakin kau mengalami hari yang menyenagkan bersama A.J”, sindir Derrick.
“Oh, sangat menyenangkan. Aku tidak tahu apakah aku dikutuk atau apa sampai aku harus mengalami kesialan seperti ini”.
“Hey, siapa yang kau bilang sial?”, protes A.J. Derrick dan Tina tertawa.
“Kita harus cepat, A.J. Ingat sebelum jam 12 kau harus sudah menemui Big Daddy”, ucap Tina mengingatkan.
“Oh, Jesus. Aku ini sudah seperti Cinderella saja”, A.J menepuk dahinya. “Untunglah kau sudah keluar, Derrick. Kau janji meminjamiku 1500 dollar, kan? Ayo kita ambil sekarang”.
“Mmm.., berapa hutangmu, A.J?”.
“Hutang pada Bid Daddy 2000 dollar, pada Leo 500 dollar”.
“Ya, Ampun!”, Derrick mundur kebelakang saking kagetnya. Mulut Tina menganga karena kaget.
“Mau bagaimana lagi! Ibuku waktu itu harus dioperasi”.
“Tapi..tapi..”, Derrick terlihat gugup. “Saat ini aku hanya punya 500”.
“Apa? 500??”.
“Ya, orang-orang itu mengambilnya dariku”, Derrick menunjuk ke gebang merah didepannya. “Mereka bilang sebagai denda”.
“Oh, man! Katakan kau bercanda!”, rintih A.J.
I'm sorry, dude. That's all I got”.
“Oh, Jesus!”, A.J terduduk lemas. Beberapa detik kemudian A.J berdiri lagi. Allright, man! Aku punya simpanan uang sekolah 500 dollar dirumah. Aku punya 500 ditangan, dan Derrick kau punya 500, totalnya 1500. Masih kurang 500 untuk bayar pada Big Daddy”.
“Pinjam 500 lagi pada siapa ya?”.
“Kita coba saja bayar 1500 dulu pada Big Daddy. Daripada tidak. Ayo!”, ajak A.J mulai berjalan.
“Hey A.J!”, sapa seseorang didepan A.J.
“Leo?”.
Derrick dan Tina ikut terkejut. Leo membawa anak buahnya, jumlahnya 4 orang.
“Kau membuatku repot tadi siang”, ucap Leo dengan wajah menyeramkan, seperti siap menerkam.
“Hey, I'm sorry man. Itu hanya karena ada orang-orang yang mengejarku. Jadi aku terpaksa lari”.
“Well, aku tidak perduli alasannmu. Jika kau tidak membayar hutangmu, kau habis malam ini”.
“Hei, relax man! Aku punya uangnya. Ini”, A.J mengeluarkan 500 dollar dari saku celana jeansnya dan melemparnya pada Leo.
Leo tertawa. “Kenapa tidak dari tadi. Urusannya kan tidak akan panjang”.
A.J ikut tertawa (dipaksakan). “Aku baru mau mengantarkan uang itu”.
“Mengantarkan kepalamu! Kalau kau tidak bertemu denganku sekarang, kau tidak akan membayar hutangmu. Anyway, senang berbisnis denganmu. I'm going out of here”, Leo dan anak buahnya pergi.
A.J kembali terduduk lemas dijalanan. “Aku hanya pinjam 300, tapi jadi 500”.
“Apa?! Besar sekali bunganya”, teriak Derrick.
A.J tidak menjawab. Dia malas menjawab. “What now? Sekarang kita kekuarangan 1000 dollar”.
Derrick ikut duduk disebelah A.J. “Mau tidak mau kita harus mencobanya, A.J. Kita ambil uangmu dirumah, sisa uangku dirumahku, setelah itu kita menemui Big Daddy. Apa yang terjadi nanti kita pikirkan saja nanti. Ok?”.
A.J mengangguk. Derrick dan Tina membantu A.J berdiri. Karena masing-masing tidak uang untuk naik taxi, maka mereka harus berjalan menuju rumah A.J. Waktu menunjukan pukul 11 malam.
“Hei, rumahmu bagus juga”, ucap Tina begitu sampai dirumah A.J. Dari trotoar memasuki rumah A.J harus menaiki tangga terlebih dahulu. Di kiri kanan tangga terdapat taman yang teratur rapih. Setelah tangga baru terdapat teras dengan tempat duduk santai yang nyaman dikiri kanan pintu utama yang terletak ditengah.
A.J menaiki tangga dengan lemas. Dia membuka kunci rumahnya, menyalakan lampu dan segera pergi keatas untuk mengambil uangnya.
Tina masih terpikat dengan rumah A.J. Sangat rapih dan dindingnya berlapis kertas tembok dengan gambar yang indah dengan warna dominan abu-abu kebiruan.
Derrick langsung pergi kedapur, membuka-buka lemari dan juga lemari es. “Kau lapar?”.
“Astaga, aku sangat lapar”.
“Hanya ada roti dan selai kacang”.
“Itupun tidak apa-apa asal A.J mengizinkan”.
“Untuk apa tanya A.J? Langsung saja makan”.
Tina bingung. Dia tidak biasa seperti ini waktu di Indonesia. Tapi Tina juga sangat lapar.
Derrick membawa sebungkus roti beserta selai kacang ke meja makan. “Ayo makan! Aku juga lapar”.
Ya sudahlah, pikir Tina. Perutnya sudah tidak bisa kompromi lagi.
Tidak berapa lama, A.J turun kebawah dan ikut bergabung di meja makan. A.J tertunduk lemas. “Apa yang harus aku lakukan? Hanya ada 100 dollar digabung dengan uang Derrick”, A.J menunduk, seperti menangis dengan kepala menempel pada meja makan. “Oh, man!”.
Melihat A.J bersedih, dan mengingat ibunya yang berwajah hangat, Tina tidak jadi makan padahal roti sudah ditangannya. “Sebenarnya aku punya 1000 dollar”.
“What?”, teriak A.J langsung terbangun bersamaan dengan Derrick yang penuh roti dimulutnya. Tina bisa melihat sisa air mata yang mungkin tidak jadi menetes pada mata A.J.
“Tapi itu uang asramaku”.
“Kau tinggal saja disini. Anggap kau sudah bayar sewa!”, A.J mencekal lengan Tina bersemangat.
“Tinggal disini? Bagaimana dengan Ibumu?”.
“Ow, kau tidak perlu menyakan hal itu. Ibuku akan sangat senang, dan dia juga kesepian disini. Lagipula ada 3 kamar kosong diatas. Kau tadi bilang kau suka rumah ini, kan?" A.J lalu mencodongkan tubuhnya tanpa berpindah tempat, mendekati wajah Tina, berkata dengan nada mengancam, "katakan kau suka!”
Tina bingung”, ya.., aku, emang suka. Tapi..”.
Derrick tertawa tertahan.
“Setuju!”, ucap A.J buru-buru. “Kau boleh tinggal disini dan uangnya akan kukembalikan. Tawaran yang bagus bukan? Sekarang mana uangnya?”.
“Uangnya, ada di taxi”.
“Ya, ampun!”, A.J menepuk dahinya.
“What? What taxi”, Tanya Derrick bingung.
“Kalu begitu kita harus cepat, karena sudah jam 11 lewat. Kita kerumah Derrick dulu untuk mengambil uangnya, lalu kita ambil tasmu, ok?”, ucap A.J (yang menurut Tina lebih seperti ancaman) masih mencekal lengan Tina.
“Ok”, jawab Tina ketakutan.
“Lets go”, A.J langsung menarik Tina.
“Tapi, tapi, aku lapar”, teriak Tina.
“Aku akan memberimu makanan apa saja yang kau mau, tapi setelah ini”.
A.J dan Derrick berlari didepan Tina. Tina sudah tidak kuat menahan lapar. Semenjak dipesawat tadi siang sampai malam sekarang Tina belum makan. Tina menyesal makanannya dipesawat tidak dihabiskan.
Sampailah mereka dirumah Derrick yang tidak begitu terawat, Derrick tinggal sendirian. Derrick segera membuka pintu tapi pintunya macet. Akhirnya Derrick memutuskan untuk mendobrak saja pintunya setelah beberapa lama.
Derrick tertawa malu pada Tina, tapi Tina tidak memperhatikan Derrick. Tina terlalu sibuk memperhatikan rumah Derrick yang gelap dan berantakan.
“Cepat, cepat! Mana uangnya?!”, teriak A.J.
Derrick segera berlalu menuju kamarnya. Sempat juga tersangkut bajunya sendiri yang berserakan, hingga ia terjatuh. Tidak berapa lama, Derrick kembali dan memberikan uangnya pada A.J.
“Kau benar-benar harus membersihkan kamarmu”, ucap Tina masih menilik-nilik barang-barang Derrick yang kebanyakan tidak penting dan layak untuk berada ditempat sampah.
“Well, thanks. Aku tidak keberatan membersihkannya denganmu”, goda Derrick bersilang tangan sambil bersandar pada dinding.
“Acara gombalnya nanti saja. Sekarang kita harus bergegas untuk mengambil tas Tina”, A.J langsung keluar kembali menarik tangan Tina. “Kita harus pakai taxi”.
“Tapi kita tidak punya uang”, teriak Tina.
“Jangan khawatir. Uang tabunganku kelebihan 50 dollar”.
“Great! Uang tabunganku kelebihan 10 dollar”, Derrick tidak mau kalah.
“Memangnya jam segini masih ada taxi?”.
“Ada kalau kau beruntung”. Jawab Derrick bercanda.
Ketika waktu sudah menunjukan pukul 11:45, mereka baru bisa dapat taxi. A.J terus merecoki supirnya untuk menyupir dengan kecepatan tinggi. Kecepatannya memang cukup tinggi, tapi supir itu tidak mau menambah kecepatannya lagi, bisa-bisa kena tilang polisi.
Akhirnya mereka sampai ditujuan. Dari situ menuju Big daddy cukup dekat, jadi mereka bisa bernafas untuk sementara.
Ada kertas tilang dibelakang mobil itu. Tapi A.J tidak menghiraukannya, bisa diurus nanti.
“Waktu kita tinggal 10 menit lagi. Ayo cepat!”, teriak Tina setelah memeriksa keadaan dan isi tasnya. Tidak kurang satupun.
“Tenang saja”, A.J duduk dilantai menyandar pada bagasi mobil. “Dari sini dekat, paling cuman 5 menit. Asal uangnya ada, kita selamat”.
“Justru itu! Uang ada, tapi masih di mesin ATM”.
“What?”, A.J dan Derrick kembali berteriak bersamaan.
“Masih..ada..di, ATM”, jawab Tina pelan, ragu, dan takut.
“Kenapa tidak bilang dari tadi?!”, Tanya A.J langsung berdiri.
“Kau pikir aku akan membawa uang sebanyak itu denga tunai!”, balas Tina.
“What now?!”.
“Sekarang kita harus mencari ATM terdekat. Dimana-mana kan ATM 24 jam”, ucap Derrick.
“Iya, tapi dimana? Apa kita masih sempat?”.
“Untuk apa ada mobil ini?”, Derrick menepuk-nepuk taxi kuning itu.
“Kehabisan bensin”.
“Well, tidak mungkin habis total, kan? Setidaknya untuk berjalan beberapa meter masih bisa”.
“Maksudmu?”.
“Maksudku, kita pakai mobil ini selagi masih bisa kita pakai. Daripada kita harus berlari, atau menunggu taxi yang lain. What do you think?”.
“Bagaimana kalu kita mogok ditengah jalan?”.
“Ya kita dorong”.
A.J dan Tina terdiam ragu.
“Jadi begini rencananya. Kita isi bensin, cari ATM, lalu kita datangi Big Daddy. Beres, kan?”.
“Ku harap bisa semudah itu”.
“Sekarang ini, apa kita punya pilihan lain? Kau mau berlari mencari ATM dan menemui Big Daddy dalam 10 menit? Tidak mungkin. Kau juga mau menunggu taxi disini, lalu pergi mencari ATM, lalu menemui Big Daddy dalam waktu yang belum tentu lamanya?”, Ucap Derrick tegas namun tenang.
Tiba-tiba taxi kuning itu menyala. A.J dan Derrick terkejut dan langsung minggir ke kanan. Setelah itu, taxi kuning tersebut berjalan mundur menuju jalan raya.
“Kalian mau naik atau tidak?”, teriak Tina.
A.J dan Derrick saling pandang, lalu melompat masuk.
“Pom bensin terdekat disebelah mana”, teriak A.J tidak tenang.
“2 blok dari sini”, jawab Derrick berteriak. Derrick segera mengarahkan Tina menuju pom bensin. Ini hari tersial dan terhebat yang pernah Tina alami seumur hidupnya. Amerika, Oh Amerika.
Untunglah pada saat itu jalanan tidak terlalu penuh, sehingga Tina bisa mengemudi dengan kecepatan tinggi.
“Hebat juga nyetirnya”, ucap Derrick.
“Sudah kubilang dia bukan cewek!”.
Sampailah mereka dipom bensin, tinggal 5 menit lagi.
“Itu! Ada ATM!”, Derrick menunjuk bersemangat. “Untunglah di pom bensin ini disediakan ATM”.
A.J segera mengisi full taxinya, Derrick berlari bersama Tina menuju ATM.
“Sial! Macet!”, Tina memukul mesin ATM ketika mesin itu tidak berjalan sebagaimana yang diinginkan.
“Ayo, coba lagi!”.
Setelah itu Tina berhasil mengambil 1000 dollar dari ATM. Begitu keluar taxi kuning itu langsung datang kedepan pintu ATM.
“Ayo cepat!”, teriak A.J.
Tina dan derrick buru-buru masuk kedalam taxi. Dan dengan kecepatan yang lebih tinggi daripada yang sebelumnya, mobil itu bergerak menuju markas Big Daddy.

12.00
“Bos, A.J datang”, ucap salah satu anak buah Big Daddy.
“Suruh dia masuk!”.

Selesailah urusan A.J dengan Big Daddy, juga dengan leo. A.J bersumpah tidak akan pernah meminjam uang lagi dari orang-orang seperti meraka.
Sekarang A.J, Tina dan Derrick berjalan lemas dilorong rumah sakit. Begitu masuk kekamar Ibu A.J, seorang dokter ditemani susternya berada didalam.
“Ada apa dengan Ibuku, Dok?”, Tanya A.J was-was. Tina menegang.
Dokter itu tersenyum tenang. “Ibumu sudah lebih baik. Kami sudah melepas tabung oksigennya. Beberapa hari lagi Ibumu sudah bisa pulang”.
“Oh, thanks God”, A.J menutup wajahnya dengan kedua tangannya, tampak bersyukur. Kabar yang sangat menggembirakan dihari yang melelahkan.
Tina dan Derrick ikut terharu.
“Hei, A.J! Tambahi aku uangmu. Aku akan memesan pizza keju dan coca cola untuk kita bertiga”.
“Mmm, kedengarannya enak. Aku tidak sabar menunggu”, ucap Tina membelai perutnya.
Derrick tersenyum melihat Tina.
“Hey, tunggu dulu”, ucap Tina tiba-tiba. “Setahu Ibumu aku pacarmu, kan?”.
“WHAT?!”, teriak Derrick.



Sebelumnya udah pernah nulis tentang Manhattan, sekarang Manhattan lagi, xixixixiiixixii...

Sudden Broken

Aku biasa dengan pelukan orangtuaku ketika aku mendapatkan nilai bagus setelah ujian semesterku. Aku biasa bertanding soft ball dengan disaksikan orangtuaku. Aku biasa bercanda setiap malam dengan orangatuaku dan adik kecilku, Amber yang masih berusia 3,5 tahun.
Tiba-tiba, suatu hari orangtuaku memanggilku. “Toni, kita harus bicara”.
Saat itu semuanya terasa jungkir balik. Orang tuaku akan segera bercerai. Mereka bercerai? Mungkin aku salah dengar. Atau mungkin mereka hanya bercanda. Ini pasti lelucon. Saat itu harusnya aku menerima fakta, aku malah tidak mau menerimanya dan mengingkarinya.
Aku tidak pernah melihat adanya suatu masalah pada orangtuaku. Mereka jarang bertengkar, mereka terlihat rukun. Atau mereka hanya terlihat pura-pura rukun didepan kami.
Bercerai atau tidak, teganya mereka melakukan ini padaku dan Amber.
“Mereka tidak memikirkan kita, Amber”, bisikku pada Amber yang sedang bermain boneka. “Mereka egois. Mereka hanya memikirkan diri mereka sendiri”.

“Mau kemana, Toni?”, Tanya Ibuku. Waktu itu jam 9 malam. Dia melihatku membawa tas.
“Rumah teman”, jawabku singkat. Aku langsung pergi karena aku tidak mau ada pertanyaan kedua. Saat ini aku tidak mau dekat-dekat dengan orangtuaku. Entah dengan siapa nanti aku akan tinggal. Ayah masih tinggal dirumah. Mereka akan memulai proses perceraian beberapa hari kemudian.
Aku pergi kerumah Hawk. Disana teman-temanku yang lain juga sedang berkumpul. Aku sebenarnya naksir Aniston, cewek cheers yang punya mata dan rambut berwarna cokelat. Dia sangat lucu, dan dia akan ikut bergabung bersama kami malam ini, dan teman cewek lainnya. Tapi begitu melihat dia, rasanya aku tidak bisa memikirkan apa-apa. Rasa sukaku hilang. Sama sekali tidak ada perasaan.
Malam itu kami bersenang-senang. Kami tertawa, main games, minum minuman beralkohol ringan, berkelahi sambil bercanda, dan saling beradu lelucon. Sejenak aku bisa melupakan kekesalanku pada suasana rumah yang muram. Tapi semakin berlalunya waktu, satu per satu teman-temanku mulai letih dan tertidur. Hanya tinggal aku dan Hawk. Waktu sudah menunjukan pukul 3 dini hari.
“Kau mau tidur, toni?”, tanya Hawk.
“Sepertinya aku tidak akan bisa tidur”.
“Kau punya masalah, ya?”.
“Tidak. Aku hanya tidak bisa tidur. Itu saja”.
Hawk diam sejenak, lalu bangkit dari sofa. “Ayo! Ikut aku kebawah”.
Dengan malas aku mengikuti Hawk, menuju dapur. Hawk membuka lemari dapur yang terletak diujung ruangan. Dia mengeluarkan sebuah botol.
“Kau mau minum ini?”, tanya Hawk.
Aku memperhatikan botol itu. Tingkat alkoholnya cukup untuk dengan cepat membuatku mabuk, mengingat aku tidak pernah minum yang seperti ini.
“Ya, aku mau”.

“Hey, Toni! Bangun!”.
Aku membuka mataku perlahan. Sinar matahari yang masuk lewat jendela terasa lebih silau dari biasanya. Aku masih dirumah Hawk.
“Jam berapa ini?”, tanyaku masih sangat lemas.
“Jam 10”, ternyata Dylan, temanku yang lain yang membangunkanku. Untung hari ini hari Minggu, kalau tidak aku tidak akan bisa masuk sekolah.
Aku memutuskan untuk bangun. Tapi kepalaku terasa berat dan pusing. Pusing sekali sampai aku harus memejamkan mata untuk menahan sakitnya. Aku langsung bergegas ke kamar mandi untuk cuci muka. Aku berpapasan dengan Aniston. Dia memperhatikanku dan sepertinya tahu kalau aku mabuk berat. Tapi aku tidak perduli. Aku langsung ke kamar mandi dan menyegarkan tubuhku.
Siang itu aku pulang. Ayah tidak tahu ada dimana. Sedangkan Ibuku sedang mengatur tanaman. Itu hobinya.
“Darimana kau, sayang?”, taanya Ibu dengan keramahan yang biasa aku dapati. Walaupun keramahan itu tetap ada, entah kenapa aku tidak merasakannya. Dan aku tidak mau ada didekatnya. Aku menjawab sambil pergi masuk, “rumah Hawk”.
Jam 1 siang itu aku pergi ke sekolah, untuk latihan soft ball. Biasanya permainanku cukup bagus, tapi hari ini jelek sekali. Mr.Edward, pelatihku sampai harus menegurku berkali-kali.
“Hey! Ada apa?”, tanya Hawk menepuk bahuku disela latihan.
“Tidak ada. Hanya kurang konsentrasi saja”, jawabku mengalihkan pandang dari Hawk. Aku tidak ingin Hawk tahu masalahku.
Pulang latihan, Hawk mengajaku kerumahnya. Aku setuju saja karena memang aku tidak ingin pulang.
“Kau mau ikut denganku?”, Tanya Hawk dengan seringai misterius.
“Kemana?”.
Lalu Hawk mempelihatkan 2 buah tiket nightclub.
“Kau dapat darimana? Kita kan masih dibawah umur”, tanyaku heran.
“Oh, Toni. Kita kan hampir 17 tahun. Tidak ada salahnya kan, kita mencoba sesuatu. Nanti akan kita alami juga”.
Aku tidak menjawab ragu.
“Ya sudah kalau kau tidak mau. Akan kuajak yang lain”.
“Tunggu, tunggu!”, aku mencekal lengan Hawk. “Ok, aku ikut”.
Hawk tersenyum puas.
“Siapa saja yang ikut”, tanyaku.
“Dylan dan Bobbie. Kita berempat”.
Hari itu aku tidak pulang kerumah. Aku juga tidak menelpon kerumah. Malamnya aku langsung pergi bersama 3 temanku yang lain. Disana kami kembali bersenang-senang. Kami menggoda para cewek sambil tertawa dengan keras. Aku minum minuman keras lagi. Aku terparah dari yang lainnya, sampai mereaka harus memapahku ketika pulang.
Karena mabuk aku bangun kesiangan, dan akhirnya aku tidak sekolah. Dylan dan Bobbie sepertinya sudah pulang. Atau mereka kesekolah, aku tidak tahu. Hawk masih terkulai di tempat tidurnya.
Aku bangun, dan duduk sebentar untuk menyeimbangkan pikiran dan tubuhku. Saat itu tiba-tiba saja aku merasa sendiri. Pestaku semalam hanya sia-sia saja. Tidak membuat perasaanku menjadi lebih baik.
Beberapa jam kemudian Dylan dan Bobbie datang membawakan makanan. Hawk memang tinggal sendiri. Mereka bertanya sambil tertawa. “Bagaimana tidurmu? Kau muntah tidak?”, tanya Dylan.
“Tentu saja aku muntah. Kau sekolah?”.
“Ya. Aku dan Bobbie kesekolah. Ada yang titip salam untukmu, Toni”.
“Siapa?”.
“Aniston! Haha..huuuu”, Dylan dan Bobbie berhigh-five sambil tertawa-tawa. Aku tidak tahu apa yang lucu. Aku tidak mood untuk mengikuti kekonyolan mereka.
Ayahku sedang ada diruang tamu ketika aku pulang.
“Darimana kau, Toni?”. Aku tahu dia kesal, tapi dia berusahaa memendam kekesalannya.
“Rumah Hawk”, aku langsung menaiki tangga. Kepalaku masih pusing karena mabuk semalam. Tanpa pikir apa-apa lagi aku langsung tidur.
Jam 9 malam, Hawk menghubungiku. Dia kembali mengajakku ke night club. Aku menolak. Aku sendiri merasa tidak enak pada orangtuaku, meskipun aku masih membenci mereka. Bahkan aku masih belum tahu alasan kenapa mereka bercerai.
Aku turun kebawah. Aku melihat Ayah dan Ibuku mengantarkan seorang tamu, pria berdasi lengkap dengan jasnya.
“Surat perceraian Anda akan saya antarkan beberapa hari kemudian. Sampai saat itu, kami menganjurkan agar Anda benar-benar memikirkan perceraian ini kembali. Siapa tahu, Anda berniat untuk rujuk kembali”.
“Terimakasih. Tapi kami sudah benar-benar matang memikirkannya”, ucap Ayahku didukung oleh senyum Ibuku.
Mereka telah memprosesnya. Ya Tuhan, mereka telah memprosesnya.
“Hawk, ini aku”, sapaku ditelepon. “Aku ikut denganmu ke Night Club”.
Setelah itu, aku diam-diam pergi dari rumah. Saat itu pukul 11 malam. Orangtuaku sepertinya sudah tidur.
Dan inilah aku, ditengah bisingnya suara, ditengah kerlipan lampu yang membuat mataku pusing, diantara ramainya orang-orang yang kesepian. Minuman keras sudah menjadi temanku sekarang. Tapi aku masih belum bisa melupakan kejadian tadi.
“Hei, Toni! Kau mau coba ini?”, Hawk memperlihatkan beberapa butir pil ditangannya. Dylan dan Bobbie melihatnya, dan mereka terkejut. Aku juga terkejut, tapi tanpa pikir panjang aku ambil 1, dan langsung menelannya dengan minuman kerasku. Aku bisa melihat keterkejutan Dylan dan Bobbie melihatku.
Aku mulai lupa semuanya. Tidak ada beban, terasa ringan. Sedikit demi sedikit, rasa senang mulai menjalar di pikiranku, dan aku tidak ingat apa-apa lagi, sampai ada seseorang yang membangunkanku.
“Toni, bangun! Hey! Ayo bangun!”, Dylan membangunkanku.
“Hmmrgh.., ada apa?”, tanyaku enggan membuka mata.
“Ini telepon dari Ibumu”.
Dengan malas aku mengambil gagang telepon dari tangan Dylan. Aku sudah ada dirumah Hawk saat itu. “Halo..”.
“Halo, Toni? Ya, ampun! Kau membuat kami cemas. Kau pergi tanpa pamit”.
“Oh. Iya, maaf”, jawabku terkantuk-kantuk.
“Jam berapa kau akan pulang, sayang?”.
“Entahlah”, aku melihat jam dinding. Astaga! Sudah jam 2 siang.
“Kau tidak sekolah?”.
“Tidak. Aku bergadang semalam. Jadi aku masih ngantuk”.
“jadi nanti…”
“Bu, sudahlah! Aku mau tidur lagi. Pokoknya nanti aku pulang. Tidak usah khawatir”.
“Oh, baiklah kalau begitu. Sampai nan…”.
Aku langsung memutuskan saluran dan kembali tidur. Kepalaku lagi-lagi pusing.
Hari itu aku tidak pulang kerumah. Aku juga tidak pergi ke Night Club lagi. Tapi aku pergi berpesta bersama Hawk dirumah temannya. Dylan dan Bobie tidak bisa ikut. Aku rasa mereka memang tidak mau ikut.
Kebanyakan, orang yang datang ke pesta itu membawa pasangan masing-masing. Tapi aku tidak ada hasrat untuk itu. Setiap kali pikiranku melayang pada orangtuaku. Dan semakin aku mengingat mereka, semakin ingin aku menenggelamkan diri pada minuman keras, dan lama-kelamaan, obat.
Dan aku melakukannya malam itu. Teman Hawk mengantarku sampai kerumah pagi-pagi sekali. Dengan berjalan sempoyongan aku berusaha keras menaiki tangga dan sampai di kamarku. Aku tidak menyangka jarak menuju kamarku terasa jauh sekali.
Aku tertidur.
Jam 3 sore, aku bangun dan turun kebawah. Dipertengahan tangga Ayah muncul.
“Toni, kurasa kita perlu bicara”,
Kepalaku masih pusing. Aku menggosok wajahku dengan tangan kananku supaya lebih bisa terfokus. “Bicara apa?”.
“Turunlah kebawah”.
Sejenak aku mematung disitu. Pasti orangtuaku berniat untuk membicarakan kelakuanku yang semakin aneh, dan aku sangat tidak mau untuk membicarakannya. Yang aku tidak inginkan saat ini adalah diatur.
“Aku mandi dulu, Yah”.
“Baik. Ayah akan menunggumu didepan”.
Setelah itu aku mandi. Setelah mandi aku pergi ke kamar dan kabur lewat jendela. Aku membawa pakaian seadanya. Aku pergi ke rumah Hawk.
“Hey, buddy! Ada apa? Kau tampak kusut”.
“Boleh aku bermalam disini Hawk?”.
“Tentu saja. Kapan saja boleh, my friend”.
1 minggu aku tidur dirumah hawk. 1 minggu aku tidak pulang dan tidak sekolah. Orangtuaku mencariku ke rumah Hawk Tapi Hawk tidak memberitahu kalu aku ada disitu. Tentu saja aku yang memintannya.
Selama 1 minggu itu aku semakin terbiasa dengan minuman keras dan obat-obatan. Hawk punya banyak teman. Selalu saja ada temannya yang berpesta. Kalau tidak, kami pergi ke Night Club. Aku semakin dikenal dimana-mana.
Setiap hari pula aku muntah, sakit kepala, dan daya ingatku seamakin memburuk. Mulutku bau dan aku jarang mandi. Tapi aku rindu rumah.
Aku meminjam mobil teman Hawk. Selama beberapa jam, aku didalam mobil, mematung diseberang rumahku. Perasaan antara ingin masuk dan tidak. Aku melihat Ibuku keluar kembali menata tanamannya.
Tidak lama kemudian sebuah mobil datang. Keluarlah seorang pria dari mobil itu, yang pernah aku lihat sebelumnya.
Dia menyapa Ibu. Tidak lama Ayah keluar dan mereka masuk bersama. Aku ingat, dia adalah pengacara yang orangtuaku sewa untuk proses perceraian mereka. Mereka jadi bercerai tentunya.
Hasratku untuk masuk kerumah hilang. Rumah kembali terlihat sepeti neraka. Aku kembali ke rumah Hawk dengan kecepatan mobil yang cukup tinggi.
Malamnya, aku lagi-lagi berpesta. Pesta tergila yang pernah aku alami. Aku minum banyak sekali. Aku tertawa dan berteriak sejadinya, dan mengucapkan kata-kata kotor dengan keras.
“Hey! Ayo kita lakukan sesuatu yang berbeda. Sesuatu yang agak berani”, teriak Hawk didepan semua orang dengan seringai yang licik.
Semua ribut bertanya.
“Aku punya ini”, Hawk memperlihatkan bungkusan kecil transparan. Didalamnya ada sekitar 50 pil obat terlarang.
Semua bersorak senang.
“Tunggu dulu, tunggu dulu. Aku akan mengadakan lomba. Siapa yang paling banyak mengkonsumsi obat ini”, lalu Hawk memperlihatkan uang yang digulung melingkar. “Dia akan mendapatkan 500 dollar”.
Semua kembali bersorak.
Lalu Hawk berteriak. “Ayo! Siapa yang mau ikut?”.
8 orang maju termasuk aku, tentu saja. Masing-masing menelan 1 butir. Setelah beberapa menit 1 orang mundur. Pil kedua, 2 orang mundur. Aku menertawakan mereka yang hanya mampu menelan 2 butir pil. Menurutku itu tidak apa-apanya
Memasuki pil keempat, hanya tersisa 3 orang. Masing-masing bertahan sampai pil kelima. Dan aku tentu saja juaranya. Aku sudah tidak kuat, karena aku mabuk, dan 5 butir pil yang aku telan. Tapi aku berusaha bertahan.
Semua bersorak. Lagi! Lagi! Lagi!
Maka dengan kesombongan yang tinggi aku menelan 5 pil sekaligus. Semua bersorak lebih ramai daripada sebelumnya. Aku mengangkat tangaku, seolah aku juara sejati. Hawk melempar uangnya padaku, dengan senyum bangga.
Menit berikutnya, aku merasa sakit pada beberapa bagian tubuhku. Lama-kelamaan, sakitnya mulai terasa lebih. Aku sampai tidak kuat berdiri. Beberapa orang yang melihatku bingung karena aku diam dan wajahku pucat sekali. Suasana mulai hening.
Aku jatuh tidak sanggup berdiri. Terasa benar-benar sakit.
Aku terbaring dilantai. Kepalaku sakit sekali. Aku merasa tubuhku dijejali ratusan jarum. Tubuhku mulai bergerak, bergerak tanpa aku yang menggerakannya. Tubuhku bergerak sendiri. Aku kejang. Aku tidak bisa mengontrol tubuhku sendiri. Orang-orang disekelilingku mulai menjerit. Tidak ada yang menolongku. Aku mulai kehilangan kesadaran. Aku…
Tiiiiiiiitt…….

“Toni.., oh, Toni”, aku mendengar suara tangis Ibuku. Tapi aku tidak bisa membuka mataku. Aku tidak punya energi. Aku terbaring entah dimana. Badanku kaku dan sakit. Tapi aku bisa merasakan sentuhan tangan Ibuku. Dia sedang memegang tanganku.
Aku lelah. Aku kembali tidur.

“Toni..Toni!”, aku kembali mendengar. Itu suara adikku, Amber. Astaga! Aku benar-benar lupa tentangnya. Aku perlahan membuka mataku.
“Hey, Toni! Kau bangun?!?”, Amber tampak senang. Suaranya khas anak kecil, lucu sekali. “Lihat, aku punya apa!”, Amber membawa kue kecil. Ditengahnya berdiri 1 lilin berwarna merah.
“Happy birthday to you, happy birthday to you, happy birthday, happy birthday, happy birthday to youu..., selamat ulang tahun, Toni”.
Amber, adikku yang sangat kusayangi, yang hanya baru berusia 3,5 tahun. Bagaimana dia bisa mengingatnya. Aku tidak tahu ini hari apa dan tanggal berapa, tapi aku ingat bulan ini aku berulang tahun yang ke-17.
“Bagaimana kau tahu hari ulang tahunku, Amber?”.
Amber tertawa, polos sekali. “Kau kan kakakku”.
Aku meneteskan air mataku. Bagaimana mungkin…
“Ayo berdoa. Setelah itu kita tiup lilinnya”.
Saat itu aku ingin sekali membelai rambutnya dan memeluknya. Tapi rasanya aku masih belum punya cukup energi. Kemudian seperti tersadar aku melihat kesekeliling. Ternyata aku berada di rumah sakit. Tanganku diinfus. Apa yang terjadi padaku?
“Ayo kita berdoa bersama!”, uacap Amber membuyarkan lamunanku.
“Ayo”, lalu kami berdoa bersama. Aku melihat Amber menutup matanya. Aku menutup mataku kemudian.
Ketika aku membuka mataku, Amber sudah membuka matanya duluan. Dia tertawa memperlihatkan gigi-giginya yang kecil.
“Ayo kita tiup lilinnya! 1..2..3..”, aku dan Amber meniup lilin yang hanya ada 1 itu, lalu kami berdua tertawa.
“Apa keinginanmu , Amber?”.
“Supaya kau cepat sembuh. Dan apa keinginanmu?”.
Aku sama sekali tidak tahu apa yang aku inginkan. Keinginanku agar orang tuaku untuk rujuk sudah tidak ada. Aku pasrah. Dan setelah ini aku akan menjaga Amber. Pasti. Jadi keinginanku adalah, mungkin, hidup normal kembali bersama Amber, diluar perceraian orang tuaku. “Hmm.., makan coklat dan es krim yang banyak dirumah”.
“Wow! Sayang sekali, dokter bilang kau tidak boleh sembarangan makan. Jadi kue ini tidak bisa kau makan, Toni”.
“Tidak apa-apa. Setelah aku sembuh kita akan pesta cokelat dan es krim”.
Amber tertawa keras. “Horeee…aku mauuu”.
Ayah dan Ibu datang.
“Amber, kau tidak boleh berteriak-teriak disini!”, ucap Ibu. “ya Tuhan, Toni, kau sudah bangun?”.
Aku tersenyum. “Apa yang terjadi, Bu?”.
“Kau over dosis, sayang. Apa yang kau lakukan selama ini, Toni?”, Ibu mulai meneteskan air matanya.
“Maaf, aku membuat kalian semua cemas. Tidak akan aku ulangi lagi, aku janji”.
Ayah memegang bahuku lembut. “Kami juga minta maaf, Nak. Kami bersalah”.
“Kalian tidak perlu minta maaf padaku, dan tidak usah memikirkanku. Yang kalian cukup pikirkan adalah Amber. Bagaimana jadinya dia hidup tanpa salah satu dari kalian. Aku tidak pernah tahu apa masalah Ayah dan Ibu, dan sekarang aku tidak mau tahu. Tidak ada pengaruhnya untukku sekarang”.
Ibu menangis semakin keras. Amber celingak-celinguk tanpa mengerti apa yang kami bicarakan.
“Yang aku mau sekarang adalah menjaga Amber. Aku tidak mau dipisahkan dari Amber. Aku yang akan membuatnya mengerti kenapa orang tuanya bercerai pada saat usianya 4 tahun. Itu saja yang aku minta.
Kali ini Ayah meneteskan air mata. Aku tahu dia berusaha menahannya.
Life is a matter of choice. Hidup adalah tentang membuat suatu pilihan, pilih untuk menerima atau memungkiri. Tapi, menurutku kadang kau memungkiri, baru bisa menerimanya. Seperti aku.