Pada waktu usiaku 7 tahun…
“TREAK OR TREAT!!!”, teriaku dengan 4 temanku yang lain, didepan sebuah rumah yang hanya beberapa blok dari rumahku. Aku mengenakan gaun kupu-kupu, begitu Ibuku menyebutnya. Gaun itu seperti baju balet, mengembang keatas dibagian roknya. Aku memakai stocking putih, ditambah variasi sayap, tongkat sihir, dan topeng dengan ujung yang melancip keatas, yang hanya menutupi mata dan hidungku saja. Semuanya berwarna pink muda dengan kilauan gliter perak.
Pintu itu terbuka dan keluarlah seorang cowok dengan mengenakan tuxedo lengkap ditambah asesori jubah hitam yang panjang. Rambutnya pirang dan tersisir rapih kebelakang. Dia juga memakai topeng.
“Well, hello butterfly!”, sapanya padaku sambil jongkok. “Mana yang kau mau?”, cowok itu memperlihatkan beberapa pilihan cokelat dan permen dengan warna-warna yang menarik.
“Aku mau yang ini”, jawabku sambil mengambil 2 buah cokelat darinya.
“Bagus. Kalau begitu ini sisanya untuk kalian”, cowok itu membagikannya pada teman-temanku. Lalu dia kembali bicara denganku. “Kau lucu sekali kupu-kupu. Atau harus kupanggil peri kupu-kupu?”.
“Namaku Rosse”, jawabku polos dengan mulut cemberut, karena waktu itu aku tidak begitu mengerti perkataannya.
“Wow! Nama yang bagus. Dimana rumahmu?”.
“Dekat rumah nenek Marry”, jawabku seolah cowok ini tahu dan kenal dengan nenek Marry.
“Siapa nenek Marry?”.
“Nenek Marry yang suka memberiku kue”.
“Oh, baiklah”, cowok itu tersenyum memaklumi. “Hey, kita punya topeng yang sama, ya?”. Bentuknya memang sama. Tapi warna topengnya seluruhnya hitam.
“Tapi punyamu jelek, karena tidak bisa menyala sepertiku”, ucapku lagi-lagi polos.
“Iya, kau betul sekali. Dimana kau membelinya? Maukah nanti kau membelikan 1 untukku?”.
“Aku tidak tahu. Ibu yang memberikannya padaku. Kalau kau mau aku akan memberikannya untukmu, tapi nanti setelah Halloween selesai, karena aku masih harus memakai topeng ini. Ibuku selalu memberitahuku untuk saling memberi terhadap sesama”.
“Ibumu memang benar”, jawabnya sambil mendekatkan wajahnya. Aku bisa melihat matanya yang berwarna biru bening. “Dasar kau peri kecil yang lucu”, dia mencubit pipiku.
Aku diam sejenak, lalu aku berkata tolol tanpa aku sadari. “Maukah kau jadi pacarku”, tanyaku tanpa ekspresi apapun.
Cowok itu tertawa. “Kau mau jadi pacarku?”.
Aku tidak menjawab, masih dengan ekspresi yang lurus-lurus saja. Aku tidak sadar pada ucapanku. Aku tahu arti pacar, tapi tidak sepenuhnya mengerti.
“Begini saja. Nanti kalau usiamu sudah 17 tahun, kau datang mencariku. Lalu setelah itu, bukan kau yang akan memintaku jadi pacarmu, tapi aku yang akan memintamu jadi pacarku. Jadi, tumbuhlah menjadi gadis cantik yang baik hati dan suka memberi. Aku pasti mau jadi pacarmu. Setuju?”.
“Setuju!”, kami saling menyematkan kelingking.
“Nah, cokelat ini bonus untukmu”.
“Thank you, Sir”.
“Bukan Sir. Namaku Joshua Miller. Panggil aku Josh”.
“Thank you, Josh”.
“You’re welcome. Sekarang pergilah! Nanti kau dan temanmu kehabisan permen dan cokelat”.
“Ok. Byee…”, lalu aku dan teman-temanku berlari menyeberang sambil berteriak-teriak layaknya anak kecil. Setelah beberapa meter jauhnya, aku menengok rumah cowok tadi. Dia masih disana memperhatikanku. Aku melambai dan dia balas melambai.
Tanpa sepengetahuannya, aku menyimpan kenangan ini selama 10 tahun.
Tahun itu Ayahku dipindah-tugaskan ke New Jersey, jadi kami sekeluarga harus pindah. Aku sedih karena aku tidak akan bisa bertemu dengan Josh nanti. Tapi Ayah dan Ibu berjanji akan membelikanku rumah Barbie, sehingga aku akhirnya mau menyetujui kepindahan Ayahku.
Aku benar-benar tumbuh menjadi gadis cantik sesuai dengan keinginan Josh. Aku juga tidak lupa dia memintaku untuk tumbuh menjadi gadis yang baik dan suka memberi. Karena itu semua orang menyukaiku. Walaupun aku bukan cewek berambut pirang dan bermata biru, ataupun itu anak cheers, tapi aku cukup dikenal disekolah.
Semuanya itu tidak mebuatku lupa pada Josh, walaupun aku berkencan dengan beberapa cowok lain. Bahkan semua temanku tahu tentang pria impianku itu. Mereka bilang Josh tidak mungkin ingat padaku, kalau semua ucapannya saat itu hanyalah sekedar ucapan penghibur atau apalah namanya, aku tidak perduli. Kalau memang aku tidak bisa menjadi pacarnya tidak apa. Yang penting adalah, aku akan menemuinya pada saat usiaku 17 nanti.
10 tahun sudah berlalu. Dan atas seizin orang tuaku, aku kembali ke kota dimana aku dilahirkan, Brooklyn. Aku pergi bersama 4 teman cewekku. Kami menginap di hotel. Pada saat itu tanggal 29 September. 2 hari menjelang Halloween.
31 Oktober 2006, hari Halloween…
Jantungku berdetak tidak karuan. Aku pergi seorang diri, kerumah Joshua Miller. Aku tidak tahu apa yang akan aku katakan nanti jika berhadapan dengan Josh. Apakah dia masih mengingatku, atau bisakah dia mengingatku.
Berulang kali aku menggelengkan kepala dalam perjalananku kerumah Josh, karena membayangkan yang tidak-tidak. Selain itu bisa saja Josh pindah rumah, punya pacar atau malah sudah berkeluarga. Kita pikirkan itu nanti saja.
Sekarang aku sudah ada berada didaerah perumahanku yang dulu. Hanya tinggal memutar beberapa blok, maka sampailah aku dirumah Josh.
Ternyata rumahnya masih disitu. Papan nama bertuliskan Miller terpampang disitu. Selangkah demi selangkah aku maju mendekati pintu depan rumah itu. Ingatanku mundur kebelakang. Aku ingat waktu aku berdiri disini tidak bisa menekan bel karena terlalu tinggi. Maka waktu itu, aku dan teman-temanku berteriak treak or treat dengan keras.
Aku menekan bel.
Seorang Ibu yang sudah cukup tua membukakan pintu dan bertanya dengan ramah. “Yes?”.
“Saya mencari Joshua Miller?”.
Ibu itu diam mematung.
Sekarang giliranku duduk mematung. Aku tidak percaya dengan berita yang baru saja aku dengar.
Josh meninggal. Josh meninggal karena kanker. Dia meninggal pada tahun 1996, yaitu tahun pertemuanku dengannya.
Seseorang tolong katakan ini hanya gurauan saja…
“Ayo, aku ajak kau melihat fotonya”, ajak Ibu Miller sambil menyeka air matanya karena teringat Josh usai kami berbincang-bincang. Aku sendiri tidak bisa menahan air mataku. Sekuat apapun aku menahannya aku tetap menangis.
Ibu Miller mengajakku ke sebuah ruangan yang banyak terdapat foto dalam figura berbagai ukuran. Di sebuah rak, di deret kedua dari atas yang sejajar dengan mataku, berderet foto Josh. Dia lebih tampan dari yang aku bayangkan, karena aku tidak tahu bagaimana rupanya. Tapi aku bisa melihat rambut dan mata biru yang sama.
“Kemarilah, Nak!”, Ibu Miller memperlihatkan sebuah album besar.
Kami membukanya satu per satu, dan Ibu Miller menjelaskan sejarah setiap fotonya tanpa kenal lelah.
“Dia sangat menyukai anak kecil”.
“Oh, ya?”, tanyaku terperanjat.
“Ya. Sangat. Lihat foto ini”, Ibu Miller menunjuk ke sebuah foto.
Astaga! Itu foto Josh dengan kostum tuxedo dan jubah panjangnya.
“Ini diambil pada hari Halloween, tahun Josh meninggal”, Ibu Miller tersenyum. “Aku ingat saat itu dia bercerita tentang seorang anak kecil”.
“Anak kecil?”, jantungku tiba-tiba berdebar.
“Iya. Dia bilang anak itu lucu sekali. Dia memakai pakaian peri dan sayap kupu-kupu, semuanya berkilauan. Dia bilang, jika saja umurnya masih panjang, dia akan menunggu anak itu sampai usianya 17 tahun, dan setelah itu dia akan…, dia akan…, “, Ibu Miller tiba-tiba menangis sejadi-jadinya.
Begitupun aku. Tidak sedetikpun aku sanggup menahan air mataku. Tapi sedapat mungkin aku membuat Ibu Miller sedikit lebih tenang dengan mengusap-usap punggungnya.
“Josh bilang, namanya, secantik anaknya”, lanjut Ibu Miller terbata-bata, seolah dia tidak puas jika bagian itu tidak diceritakannya. “Namanya Rosse”.
Aku menutup mulutku dengan tanganku tidak percaya. Aku tidak percaya.
Kemudian dengan memohon pada Ibu Miller, aku meminta foto Josh yang berkostum tuxedo itu.
“Bawalah, sayang. Aku rasa kau benar-benar menyayangi Josh. Lagi pula foto dengan konstum ini masih ada beberapa lagi”. Dan Ibu Miller menambahkan 1 foto Josh yang lain tanpa topeng. Aku benar-benar senang dan sangat berterimakasih. Aku tidak akan pernah bosan memandang foto ini.
Tidak lama aku pamit dengan mata merah yang sembab.
“Maaf, Nak. Tapi siapa namamu?”, tanya Ibu Miller.
“Namaku Rosse, Mam. Senang bertemu Anda. Dan terimakasih untuk semuanya”.
Sekilas aku melihat Ibu Miller terkejut begitu mendengar namaku. Mungkin dia ingat sesuatu. Tapi aku sudah pergi ketika mungkin sejuta pertanyaan melayang dipikirannya.
Sekarang aku berdiri didepan makan Josh. Pria impian yang tidak dapat aku temui. Tapi aku senang melebihi apapun, bahwa dia mengingatku waktu itu. Seperti aku punya tempat dihatinya. Ini adalah kado paling istimewa di usiaku yang ke-17 ini.
“Aku akan mengunjungimu lagi Josh”, bisikku. Lalu aku mengeluarkan sesuatu yang tadinya kupikir akan membuat Josh mengingatku. “Kau ingat topeng kita yang bentuknya sama persis Josh? Topengmu yang kubilang jelek, tapi yang paling aku rindukan bertahun-tahun ini. Ini untukmu Josh”, aku simpan topeng berwarna-pink-mudaku diatas makam Josh. “Mungkin kau akan tersenyum melihat topeng ini. Kau di surga pasti bisa melihatku, dan tahu kalau aku begitu merindukanmu”.
Aku kembali meneteskan airmataku.
“Begini saja. Nanti kalau usiamu sudah 17 tahun, kau datang mencariku. Lalu setelah itu, bukan kau yang akan memintaku jadi pacarmu, tapi aku yang akan memintamu jadi pacarku. Jadi, tumbuhlah menjadi gadis cantik yang baik hati dan suka memberi. Aku pasti mau jadi pacarmu. Setuju?”.
Aku teringat perkataan Josh. Apakah itu berarti sekarang aku pacarmu, Josh…
No comments:
Post a Comment