Wednesday, 7 March 2012

Yuki Hamazaki


Entah apa yang menarik perhatianku pada gadis ini. Maksudku, dia tidak seksi seperti kerbanyakan cewek lain. Cara berpakaiannya juga biasa saja. Tidak terlalu fashionable. Tapi aku tidak bisa mengalihkan pandanganku jika dia lewat didepanku dengan membawa kopor biolanya.
Dia anak duta besar Jepang. Kebayang kan, bagaimana sulitnya aku mendekati dia. Tapi aku memang tidak terlalu berharap bisa dekat dengannya (tidak terlalu berharap, berarti sebagian dari diriku berharap), apalagi aku tercap anak malas disekolah ini. Tapi kenapa aku bisa masuk kesekolah elite ini? Itu karena Ayahku selalu menjadi salah satu penyumbang terbesar sekolah Alpha Ellite ini. Jadi dia tidak perlu repot-repot untuk memindahkanku kesekolah lain jika aku berbuat kesalahan. Guru saja sudah tidak perduli lagi padaku. Terlalu sering dinasehati, dan terlalu sering pula aku mengabaikannya.
By the way, kenapa aku bisa menyukai gadis sipit ini, karena suatu hari kami pernah berbicara berdua. Hanya obrolan kecil. Waktu itu aku mendengar suara alunan biola di aula. Padahal sekolah sudah kosong. Sedangkan aku sendiri tertidur diruangan lain dan tidak mengikuti pelajaran.
Aku mencoba mengintip kedalam aula, dan aku melihatnya. Dia sedang memejamkan matanya sambil memainkan biolanya. Apakah karena terbawa suasana yang sepi, entahlah, aku mematung disitu dan melihatnya terus menerus, sampai akhirnya dia membuka matanya perlahan dan berhenti memainkan biolanya. Kupikir dia pasti akan langsung menyimpan biola pada kopornya dan segera pulang (karena tidak mau melihatku), tapi dia malah tersenyum dan kembali memainkan biolanya dengan mata terpejam.
Gadis ini sepertinya tidak keberatan aku melihatnya, jadi aku memutuskan untuk masuk dan duduk di kursi paling belakang. Tapi sedikit demi sedikit aku malah maju beberapa kursi, terus dan terus sampai akhirnya aku duduk di kursi paling depan. Saat itulah dia berhenti memainkan biolanya, dan kembali tersenyum.
“Kau suka?”, tanya dia tiba-tiba.
“Emm? Oh, ya. Suka. Lumayan”.
Dia menyimpan biola pada tempatnya lalu turun dari panggung. Tiba-tiba dia mengulurkan tangannya.
“Namaku Hamazaki Yuki”.
Dia mengajakku berkenalan. Terus terang untuk ukuran cowok senakal aku (yang berubah menjadi pendiam akhir-akhir ini karena aku tidak punya teman), sikapnya membuatku agak gugup. Belum sempat aku menyebut namaku, dia sudah bicara lagi.
“Kau Brandon Parker. Tentu saja”, lalu dia menjatuhkan dirinya duduk disebelahku sambil membetulkan isi tasnya. Dia mengeluarkan sesuatu.
“Kau belum pernah makan permen Jepang, kan? Ini, cobalah. Rasanya sangat enak”.
Tanpa berkata apa-apa aku langsung menerima permen berwarna pink cerah itu. Memang aku tidak pernah mencobanya. Begitu empuk seperti bantal.
“Kau suka?”, tanyanya.
“Lumayan”.
Dia tertawa senang. Lalu menarik nafas sambil menatap panggung.
“Kau punya rencana untuk acara kenaikan kelas kita nanti?”, tanyanya lagi.
“Tidak”.
Dia kembali menarik nafas. “Hah, aku bingung. Aku tidak bisa apa-apa selain biola. Tapi permainanku terlalu monoton”.
“Monoton?”.
“Iya. Lagu yang tidak asing, dan alunan nada yang menjemukan. Akan lebih bagus kalau aku menggabungkan biolaku dengan sesuatu yang lain”.
“Apa?”, tanyaku singkat.
“Ya, misalkan diiringi gitar akustik, atau nyanyian dari siswa lain. Tapi sebenarnya aku lebih senang mengiringinya dengan piano”.
“Kenapa?”.
“Menurutku terdengar lebih indah”.
Aku tidak berkomentar apa-apa. Ponselnya kemudian berbunyi. Entah dia bilang apa karena dia bicara bahasa Jepang”.
“Aku harus pulang. Jemputanku sudah datang. Bye”, ucapnya sambil berlalu.
Aku tidak membalas. Hanya bisa melihatnya saja berdiri dan melewatiku untuk segera keluar dari aula. Setelah itu aku hanya memandangi panggung.
Tiba-tiba sesuatu jatuh kepangkuanku.
“Itu untukmu”, Yuki kembali dan melempar permen yang sama kepangkuanku. Lalu dia berlari keluar dari aula. Aku mengambil permen itu dan hanya memandanginya. Aku tidak memakannya, kusimpan disaku seragam tololku.
Terlintas pertanyaan kenapa gadis ini bisa dengan bebas dan mudah bicara denganku. Setelah sekian lama aku tidak punya teman (kecuali teman diluar sekolah yang sama malasnya denganku), dan dia memberiku permen. Mungkin terdengar biasa saja, tapi entah kenapa aku menginginkan kejadian yang sama keesokan harinya. Kadang-kadang aku sengaja pulang terlambat dan sengaja melewati aula hanya untuk bisa bertemu dengannya lagi. Tapi tidak pernah ada.
Herannya, dia selalu bersikap seolah dia tidak mau bicara denganku setiap kali dia melihatku. Jangankan bicara, tersenyumpun tidak. Seolah kami tidak pernah bertemu di aula. Aku maklum. Dia anak duta besar, mungkin akan memalukan jika dia bergaul denganku. Tapi aku tidak bisa bohong, kalau aku selalu memperhatikannya dan berharap dia tersenyum menyapaku.

Senin siang, jam istirahat. Sebagian anak masih saja sibuk berdiskusi tentang pertunjukan apa yang akan mereka lakukan untuk acara kenaikan kelas nanti, karena disekolah ini setiap kenaikan kelas selalu diadakan pentas, berupa panggung. Entah itu drama, nyanyian, atau apapun. Dan aku terlalu malas untuk mengikuti acara itu.
Siang itu aku membuka lokerku, dan aku mendapati sesuatu yang membuat aku agak gugup dan malu. Sebuah permen dengan bungkus pink, nyasar dilokerku. Kupikir pasti Yuki yang melakukannya. Aku tersenyum sendiri. Aku malu mengakuinya, tapi ini adalah kejadian yang manis untukku.
Dengan keberanian yang agak dipaksakan, aku mencobaa untuk mencari Yuki. Kutrubruk semua orang yang menghalangiku. Aku tidak perduli dengan gerutuan mereka. Sepertinya aku tidak punya kesabaran.
Akhirnya aku menemukannya. Dia bersama 3 teman setianya. Aku tidak mau mendekatinya. Mungkin dia akan malas menjawabku. Jadi aku berhenti disitu dan berniat untuk kembali. Tapi pandangan mata kami bertemu, dari jarak yang tidak jauh tapi juga tidak dekat. Dan dia hanya memandangku. Tidak tersenyum, melambai atau apapun. Hanya memandangiku, seperti bingung.
Ini pasti kesalahan. Permen ini pasti kesalahan, maka aku pergi.
Aku kesal, dan ingin segera menumpahkan kekesalanku pada sesuatu. Maka, pulang sekolah hari itu, aku langsung mencari teman luar sekolahku dan bersenang-senang dengan minuman keras.
Malam itu, aku pulang sempoyongan. Begitu masuk kerumahku, aku mendapati adik perempuanku sedang les piano bersama guru privatnya dengan didampingi Ayahku. Ayah hanya mendengus kesal melihatku. Dia tahu aku mabuk. Lalu dia kembali memperhatikan Monica, adik kecilku itu.
Selama 3 hari berturut-turut aku tidak masuk sekolah. Tapi setahu orang tuaku aku pergi kesekolah. Aku tidak pulang selama 2 hari. Hari ke-3 aku pulang, dan hari ke-4 aku pergi kesekolah dengan sangat malas.
Aku melepas tas ke mejaku dikelas, dan duduk menangkupkan tanganku ke meja, dan aku tertidur diatasnya. Sudut mataku menemukan secarik kertas kuning, dikolong mejaku. Kertas kuning itu bergambar smile. Kelasku hanya ditempati murid-murid kelas 2-10 yang bearti itu kelasku. Jadi tidak akan ada murid lain yang duduk dikelasku, atau dikursiku, kecuali orang itu sengaja menyusup.
“Siapa yang menyimpan kertas ini?”, teriakku pada murid-murid lain yang tinggal dikelas.
Tidak ada yang menjawab. Semua melihatku, tapi tak ada yang menjawab. Lalu satu persatu kembali melanjutkan aktivitas semula. Huh, tentu saja tidak ada yang menjawab, bodohnya aku.

Aku tidak berniat untuk melanjutkan pelajaran, jadi begitu istirahat, aku langsung mencari tempat untuk tidur. Sebenarnya kepalaku pusing karena terlalu banyak tidur. Tapi aku tetap ingin tidur.
Aku kembali berpapasan dengan Yuki. Aku tidak berniat untuk melihatnya. Aku langsung melempar pandang kedepan, karena dia juga pasti acuh. Tapi aku merasa matanya mengikutiku. Aku refleks mencari tahu, dan mendapati dia menatapku, dengan bingung. Tiba-tiba dia tersenyum, tersenyum dengan memperlihatkan sederet gigi putihnya.
Apa yang harus aku lakukan? Aku tersenyum ragu-ragu. Ya, memang akhirnya aku tersenyum. Tapi demi Tuhan, aku merasa senyumku itu tolol sekali. Aku langsung pergi karena merasa malu. Ya ampun, sebodoh itukah aku?
Aku diam dilantai paling atas, dibalkon dekat gudang. Aku merasakan aliran kesenangan sekaligus malu yang luar biasa. Kenapa aku tidak tersenyum lebih refleks lagi? Kenapa aku tidak menyapanya saja sekalian? Aku benar-benar tolol.
Rasanya diam disini tidak membantuku. Aku malah gelisah tidak tentu. Jadi aku memutuskan untuk kembali kekelas, dengan membawa tasku yang sudah kumal dan usang. Aku rasa 2 kata itu tidak ada bedanya.
Ketika aku kembali kekelas, semua murid memandangiku aneh. Ketika itu bel tanda intirahat usai, baru saja berbunyi. Semua tahu kalau aku sudah membawa tasku, aku tidak akan kembali lagi. Tapi sekarang aku kembali. Dan, hey! Aku sendiri terkejut. Aku menulis apa yang Mrs. Lawrence tulis dipapan tulis. Mrs. Lawrence melihatku. Dia menyembunyikan senyumnya dan kembali menulis dipapan tulis, dengan melihat buku yang dipegangnya sebagai panduan.
Aku tidak tahu kalau arti senyum bisa begitu indah.
Pulang sekolah aku selalu menjadi yang terakhir keluar dari sekolah ini, karena aku malas berdesakan dengan yang lain. Dan juga karena aku selalu tertidur dibalkon atas.
Beberapa murid masih tinggal disekolah. Mereka sibuk berlatih untuk pesta kenaikan kelas nanti, yang hanya tinggal satu bulan lagi. Dan aku melihat Yuki diantaranya. Yuki sedang duduk di kursi taman bersama 3 temannya itu. Dia sedang memegang biolanya. Tapi dia tidak memainkannya. Dia hanya duduk memandangi 3 temannya yang sedang berdeham-ria, sambil tertawa.
3 teman Yuki itu lalu bernyanyi. Suara mereka lumayan juga, terbagi menjadi suara tinggi dan rendah dengan pas. Pastilah Yuki mengiringi 3 temannya itu dalam pertunjukannya nanti. Aku ingat Yuki pernah berkata, kalau alunan biolanya akan lebih bagus jika diiringi suara murid lain.
Lalu apa yang aku lakukan disini? Berharap Yuki akan melihatku dan tersenyum lagi padaku? Mungkin tidak. Atau tidak mungkin? Aku lalu berjalan gontai menuju gerbang sekolah, dan sedikit demi sedikit aku melewatinya. Yuki dan 3 temannya sekarang dibelakangku. Mungkin memalukan tapi aku sungguh berharap Yuki akan memanggilku dan menyapaku. Aku tidak tahu itu tidak mungkin. Mungkin sebagian murid lain akan melihatnya dan melaporkannya pada guru-guru, bahwa Yuki anak duta besar Jepang, bergaul dengan anak yang paling mengecewakan disekolah ini. So ironic.
Katakan saja aku tidak bisa menahan diri. Aku dengan sendirinya menoleh kebelakang, kearah Yuki. 3 temannya membelakangiku, sedang berhadapan dengan Yuki, artinya Yuki langsung bisa melihat kearahku.
Asalnya Yuki tidak melihatku. Tapi akhirnya dia tahu aku melihatnya, dan dia langsung menatapku. Dia tersenyum lebih lebar daripada waktu istirahat tadi. Dan akupun bisa tersenyum lebih wajar daripada yang tadi.
Dengan perlahan dia melambai menyuruhku mendekatinya. Tangannya terangkat perlahan seperti ragu-ragu. Dan wajahnya yang tadi dihiasi senyum ceria sekarang terlihat ragu-ragu, walaupun ia tetap tersenyum.
Kenapa dia begitu ragu-ragu? Apa mungkin dia malu pada sekitarnya, tapi juga hanya karena kesopanan dia melambai padaku? Kalau itu yang dipikirkannya, maka tidak usah repot-repot. Aku langsung pergi dengan langkah cepat dan marah. Dia begitu manis tapi tidak ada bedanya dengan cewek lain.
Aku sudah keluar dari sekolah, berbelok ke arah kiri, melewati pohon-pohon yang berjarak rapih, masih dengan langkah yang cepat.
“Brandon!”, seseorang berteriak.
Aku membalikan tubuhku dan ternyata Yuki, terengah-engah mengatur nafasnya. Sepertinya dia tadi berlari. Bawaannya berantakan antara jaket, tas, dan kopor biolanya. Dia tersenyum lebar disela lelahnya.
Oh, great! Sekarang dimana tidak ada murid Alpha Ellite satupun, dia baru berani menyapaku.
“Kau marah”, tanya Yuki tanpa meninggalkan senyum.
“Tidak”, jawabku ketus. Seharusnya kutinggalkan saja dia, tapi kakiku tidak mau bergerak.
Senyumnya hilang mendengar jawabanku. Nafasnya sudah lebih tenang. “Kau, tidak mau berbicara denganku?”.
“Aku tidak mau bicara dengan orang yang tidak mau bicara denganku”, aku sebenarnya tidak mau berkata kasar. Tapi harga diriku terlalu tinggi. Aku malah tidak sadar dengan apa yang aku katakan.
“Apa yang membuatmu berpikir kalau aku tidak mau bicara denganmu?”.
Aku tidak menjawab. Tapi ketika aku berniat menjawab, dia sudah bicara lagi.
“Aku pikir kau yang tidak mau bicara denganku”.
“Apa maksudmu?”.
Dia maju selangkah. “Aku berusaha menyapamu setiap kita bertemu. Tapi aku ragu karena aku takut kau tidak meresponku. Wajahmu itu selalu masam”, dia tertawa malu.
“Kau pikir aku seperti itu?”, nada suaraku merendah.
“Tidak tahu. Aku hanya takut kau akan bersikap seperti itu. Waktu aku sapa istirahat tadi, kau langsung pergi. Kupikir kau tidak mau bicara denganku”.
Astaga, kalau saja dia tahu kenapa tadi aku langsung pergi.
“Jangan berpikir kalau aku tidak suka bicara denganmu. Jika aku seperti apa yang kau pikirkan, untuk apa aku menaruh permen dilokermu, dan menaruh gambar smile di mejamu”.
“Jadi kau yang menaruh gambar itu?”.
Yuki mengangguk 1 kali dengan mantap. Setelah itu kami diam. Aku tidak tahu apa yang harus aku lakukan dan katakan. Ternyata ini salah paham. Atau aku sendiri yang terlalu sensitif, sampai aku berpikir sifat Yuki sejelek itu.
“Kau tidak latihan dengan temanmu?”, tanyaku, karena aku tidak tahu harus bertanya apa.
Yuki tertawa. “Untuk apa aku berlatih dengan mereka. Mereka punya pentasnya sendiri”.
“Kau tidak 1 tim dengan mereka?”.
“Tidak”, dia tertawa lagi. “Kau lebih banyak bicara sekarang, dibanding waktu diaula.
Aku tertawa.
“Dan kau bisa tertawa sekarang”, lanjut Yuki tertawa lebih lebar. Kami berdua pun tertawa bersama. Sulit dipercaya dengan jarak 5 langkah.
“Jadi bagaimana pentasmu?”, tanyaku lagi.
Tatapan Yuki menerawang. “Hmm..aku masih belum bisa menemukan duet yang tepat. Kalau kau bisa bermain piano, aku pasti akan memintamu untuk duet denganku”, Yuki tersenyum mantap.
Apa? Aku tidak salah dengar?
Jemputan Yuki sudah datang. Aku langsung berlari pulang. Didepan halaman rumahku ada beberapa mobil mewah. Hal ini berarti Ayah sedang kedatangan tamu. Aku tidak perduli. Aku harus masuk dan memberitahukan Ayahku apa yang aku inginkan sekarang darinya.
“Ayah!”, teriakku di ruang tamu. Semua tamu melihatku. Dan mereka juga pasti bertanya-tanya betapa berantakannya cara berpakaianku, dibalik rambut pirang dan mata biruku. Sama sekali berbeda dari penampilan Ayahku.
“Brandon? Ada apa?”, tanya Ayahku gugup.
Aku keluar dari ruangan itu dan bermaksud agar Ayah mengikutiku keluar.
“Kau membuatku terkejut. Ada apa?”.
Aku segera memegang kedua lengan Ayahku. “Ayah, aku ingin belajar piano! Les piano! Sekarang juga!, Setiap hari sehabis pulang sekolah! Tolong, Yah”, ucapku cepat-cepat.
Kami sangat jarang bicara. Begitu bicara dia langsung terkejut dan bingung karena aku begitu dramatis memintanya untuk mencarikanku guru les piano.
“Ada apa sebenarnya?”.
“Ayah tidak usah tanya! Aku hanya ingin itu dari Ayah. Ayah bisa mengabulkannya, kan?”.
“Ten..tentu saja”.
I love you, Dad”. Aku langsung berlari keatas dan mencari buku-buku tentang piano. Waktu SMP aku pernah belajar piano. Hanya dasarnya saja. Tapi berhenti ketika aku masuk SMA, dan aku melupakannya begitu saja. Buku-buku tentang piano pun entah dimana kusimpan. Sekarang aku harus mencari buku-buku itu lagi, dsan segera mempelajarinya.
Malam itu aku berpakaian lebih rapi dari biasanya. Karena aku akan memulai pelajaran pianoku malam itu juga, dengan guru yang sama dengan adikku Monica. Hanya saja waktu belajar Monica dirubah menjadi Sabtu dan Minggu. Dan aku, setelah sepakat dengan yang lainnya, belajar dari hari Senin sampai Jumat, dengan waktu belajar maksimal 4 jam. Bisa kau bayangkan itu? (Aku harus cepat menguasai cara bermain piano).
Ayah dan Ibuku mendampingiku. Ketika itu aku tahu mereka bertanya-tanya ada apa denganku. Tapi tidak mungkin aku ceritakan.
Hari-hari berikutnya, jam istirahat atau pulang sekolah, aku bertemu dengan Yuki dan berbincang-bincang. Tidak setiap hari setiap saat, karena dia juga punya teman lain. Semua mengetahui kedekatan kami, dan mereka menyebutnya sebagai kejanggalan. Aku tahu akan ada saatnya Yuki menjelaskan pada semua orang tentang pertemanan kami. Mereka akan menanyakan sejuta pertanyaan tentang kedekatanku dengan Yuki.
Dan hal itu terbukti. Seminggu setelah aku belajar piano, aku melihat Yuki keluar dari ruang BP pada waktu jam istirahat dimulai. Aku memberanikan diri untuk bertanya.
“Ada apa?”, tanyaku.
“Tidak ada apa-apa”, jawab Yuki tanpa pernah meninggalkan senyumnya.
“Tidak mungkin”.
“Menurutmu apa?”.
Aku menghela nafas pasrah. “Mereka pasti tidak suka kau berbicara denganku”.
Yuki tersenyum lagi. Ini memang tentangmu. Tapi bukan tentang itu. Mereka berterimakasih padaku karena mereka pikir aku merubahmu”.
“Apa? Merubahku?”.
“Mereka bilang kau menjadi lebih baik. Tidak pernah bolos, tidur dikelas, hilang waktu istirahat. Mereka bilang kau mau mencatat pelajaran, berpakaian lebih rapi, dan tidak temperamental seperti dulu lagi. Mereka pikir itu karena aku. Tapi tentu saja kau berubah atas kemauanmu sendiri. Betulkan?”.
Aku tidak menjawab. Dalam hatiku sebenarnya ingin sekali mengatakan ini memang karena dia. Tapi lebih baik tidak.
Lalu dia kembali pada temannya. Itu aku mengerti, tapi setiap kali dia bersama temannya aku begitu merasa kehilangan. Setiap kami bertemu dari jauh, dia tanpa ragu lagi melambaikan tangannya, dan saat itu aku selalu berharap dia akan datang padaku untuk ngrobrol atau makan bersama. Kadang memang begitu. Tapi tidak jarang juga dia bersama 3 teman setianya itu. Tentu saja.
Pulang sekolah aku langsung mencari makanan. Ibuku hari itu membuat pie apel kesukaan Monica. Seperti biasanya. Ketika aku membuka lemari es, ada semangkuk besar es buah dengan krim cokelat diatasnya. Makanan favoritku seumur hidup. Ini kesekian kalinya aku mengatakannya, tapi aku terharu mengingat setelah sekian lama, Ibuku tidak pernah membuat makanan kesukaanku lagi, karena aku sendiri pun jarang makan dirumah.
Setelah itu aku berlatih piano sendiri. Sampai guru lesku datang jam 3 sore aku masih berlatih. Ayahku pulang jam 6 sore aku masih berlatih (sempat kram juga). Ayah diam dibelakangku selama beberapa menit, memperhatikan perkembangan permainan pianoku.
Lalu dia menepuk bahuku 2 kali, dan pergi kekamarnya untuk berganti pakaian. Seluruh tubuhku terasa hangat oleh tepukan Ayahku tadi.
Aku tidak tahu kenapa hubungan kami menjadi retak. Suatu kali, sewaktu aku masih SMP, dia pernah memaksakan kehendaknya. Aku menolak terus menerus dan aku memberontak karena lama kelamaan Ayah mulai mengancamku. Tapi hanya pemberontakan kecil, masih dalam taraf wajar. Hanya saja Ayahku sangat tidak menyukainya. Dia memarahiku terus-menerus karena aku masih menolak apa yang diperintahkannya. Dan lama kelamaan, kekesalanku semakin menjadi-jadi. Aku jadi apatis, dan temperamental. Benar-benar berujung buruk. Yang kusapa dirumah itu hanya Monica. Adik tersayangku yang punya mata sebiru langit sepertiku.
3 minggu setelah belajar piano, aku mengajak Yuki untuk datang ke rumahku. Aku berniat untuk memperlihatkan kemahiranku bermain piano, dan memintanya untuk duet denganku. Duet antara piano dan biola.
Begitu masuk, ternyata Ayah ada dirumah. Sial! Aku lupa kalau hari itu hari Sabtu. Semua keluargaku ada dirumah. Mereka pasti akan berpikir macam-macam tentang aku dan Yuki.
“Brandon?”, Ayah bangkit dari sofa ruang tamu, dan berjalan mendekati.
“Oh, hmm.., ‘Yah, kenalkan ini Yuki”, ucapku gugup.
“Anak duta besar itu?”, tanya Ayah terkejut.
“Senang bertemu Anda, Sir”, jawab Yuki. Tentu saja Yuki tahu siapa ayahku.
“Senang sekali kau bisa mampir kerumahku, Yuki. Bagaimana kabar Ayahmu?”.
“Baik, Sir. Selalu sibuk bekerja, tapi dia baik”.
“Sampaikan salamku padanya, ya!”.
“Tentu saja. Ayah akan senang mendengarnya”.
“Baiklah kalau begitu. Anggap saja rumah sendiri. Jangan sungkan-sungkan”.
“Terimakasih”, Yuki tersenyum lebar sambil membungkuk ala khas Jepang. Sepertinya dia tidak sadar melakukannya.
Ayah sempat memandangiku dengan tatapan aneh seperti mengatakan, sudah maen cewek ya? Aku sudah menduganya.
“Aku mau memperlihatkan sesuatu, Yuki”.
“Apa itu?”.
Lalu aku menghampiri piano dan membuka tutupnya. Sebelum aku memainkan pianonya, Yuki sudah terkejut duluan. Lalu aku memainkan sebuah lagu.
Yuki benar-benar terkejut dan senang. Lalu dengan cepat dia mengeluarkan biolanya, dan akhirnya kami berduet. Satu persatu anggota keluargaku muncul, lalu para pelayan dirumah kami. Mereka menyaksikan dari jauh.

Hari pentas kenaikan kelas tiba. Tidak ada yang tahu aku akan berduet dengan Yuki. Mereka hanya tahu bahwa Yuki akan tampil dengan biolanya.
Satu persatu para murid memperlihatkan kebolehannya. Sampai akhirnya tiba giliran kami. MC mengumumkan ‘duet Yuki Hamazaki dan Brandon Christophe Parker’. Lalu terdengar decak heran dari para penonton. Sebagian para murid Alpha Ellite, sebagian orang tua murid.
Kami mulai memainkan alat musik kami masing-masing. Yuki sebagai instrument utama dan aku sebagai pengiring. Lagu pertama kami adalah lagu You Raise Me Up dari Josh Groban. Lagu pembuka yang biasa. Tepukan tangannya juga biasa saja. Lagu kedua kami Accidentally In Love dari Counting Crows. Lagu itu beatnya cepat, dan kami bermain dengan beat yang sama cepat seperti aslinya. Dan karena itu, permainan pianoku begitu menyentak pada beberapa nada. Begitupun Yuki.
Disitulah tepukan penonton bergemuruh. Entah karena lagunya, atau karena aku, Brandon Parker yang terkenal malas berduet dengan Yuki Hamazaki anak duta besar itu.
Ayah Yuki, Hanzai Hamazaki beserta istrinya hadir. Juga Ayah dan Ibuku. Mereka terlihat bangga.
Yuki tidak melihat kearah penonton, tapi dia melihatku dan tersenyum puas, seolah mengatakan terimaksih banyak. Anyway, seharusnya aku yang mengatakannya, karena semuanya.
Apa yang akan aku lakukan setelah ini? Meminta Yuki jadi pacarku? Atau memintanya lagi untuk duet denganku? Maksudku bukan hanya duet musik, tapi duet kehidupan antara dua orang. Kurasa, Tidak ada bedanya dengan pernyataan pertama. Hehe…

No comments:

Post a Comment