Tepatnya pada satu minggu yang sama, Emily mendapatkan dua undangan; satu dari teman masa kuliahnya, satu lagi dari teman masa SMA-nya. Tanpa ragu, Emily memutuskan untuk tidak mendatangi kedua undangan tersebut. Lagipula, undangan-undangan yang sebelumnya pun tidak pernah ia datangi. Ia terlalu malu, karena ia melihat teman-temannya yang telah berhasil sedangkan apa yang sudah ia raih selama ini adalah kosong. Tidak lain hanya berstatus sebagai karyawan tidak tetap pada satu perusahaan swasta. Mungkin ia punya posisi yang cukup penting, tapi apalah artinya posisi penting pada satu perusahaan kecil saja. Dan lagi, apakah ia harus menggembar-gemborkan pada teman-temannya bahwa ia punya posisi penting itu ditempat kerjanya pada teman-temannya agar ia tidak malu, sedangkan nama perusahaannya saja, belum tentu orang kenal?
Jadi Emily tetap tidak datang. Ia hanya bisa membayangkan kesenangan yang teman-temannya dapatkan ketika mereka berkumpul, tentang pertanyaan-pertanyaan standar dan bisa diperkirakan bakal dilontarkan dari satu teman ke teman lainnya, hingga Emily saja pun bisa menghafal jawabannya jauh-jauh hari. Tentang bagimana mereka bereuni masa lalu, saling flirting jika ada yg sama-sama single, saling membincangkan keberhasilan mereka dalam berkarir, keluarga mereka, atau calon pasangan mereka, pernikahan mereka. Cih! Tak ada satupun dari list pertanyaan itu yang bisa Emily jawab dengan rasa bangga.
Kehidupannya terlalu normal, terlalu biasa.
Suatu hari setelah lewat dari tanggal undangan, Emily berjalan disatu pasar tradisional. Emily berjalan menyusuri gang kecil namun padat akan pembeli. Ia menutupi hidungnya dengan kerah jaketnya karena bau. Disatu tempat yang agak lengang, ia melepaskan kain jaketnya dari hidungnya, tidak terlalu bau, pikir Emily. Emily mendapati satu laki-laki berkulit coklat, tidak terlalu tinggi, sama sekali tidak ada hal yang menarik dari pria ini, menurut Emily, tapi pria ini memperhatikan Emily dengan tatapan tertarik yang membuat Emily jijik. Emily jalan lebih dalam, mencari apa yang ingin ia beli.
Emily pulang melewati jalan yang sama, tidak sengaja ia melihat satu meja yang menjual pernak-pernik wanita. Emily hendak membeli ikat rambut, jadi ia mampir. Hanya dalam itungan detik, Emily memilih satu ikat rambut polos, tapi ia tidak menemukan penjualnya, jadi ia bertanya pada ibu penjual, disebelah meja itu.
"Bu, kemana yang jualnya?"
Ibu itu langsung memanggil laki-laki, yang sedang bersandar disatu tiang.
Ah, sial!
"Ini berapa?" tanya Emily tanpa memandang laki-laki itu, malas rasanya.
"Seribu saja. Kamu dulu sekolah di SMP XX, ya?" ucapnya langsung tembak.
Ha? Emily langsung menatap mata laki-laki itu. "Iya, kau tahu?"
"Masih inget saya, ga?"
Emily memicingkan mata, mencoba mengingat-ingat. "Aduh, lupa saya."
"Ah, padahal kita satu kelas, lho," jawabnya tersenyum.
"Masa sich?"
"Iya, coba inget-inget lagi. Inget sama Bayu, ga?"
"Bayu yang orang Bali itu bukan?"
"Ga tau dech dia orang mana? Emang dia orang Bali ya?"
"Ya, saya sich cuman inget sama Bayu yang orang Bali itu, yang kalo apa-apa ngomongnya selalu ada akhiran H. Terkenal karena itu kan dia?"
Laki-laki itu tertawa. "Ga tau malah saya."
Jadi Emily tetap tidak datang. Ia hanya bisa membayangkan kesenangan yang teman-temannya dapatkan ketika mereka berkumpul, tentang pertanyaan-pertanyaan standar dan bisa diperkirakan bakal dilontarkan dari satu teman ke teman lainnya, hingga Emily saja pun bisa menghafal jawabannya jauh-jauh hari. Tentang bagimana mereka bereuni masa lalu, saling flirting jika ada yg sama-sama single, saling membincangkan keberhasilan mereka dalam berkarir, keluarga mereka, atau calon pasangan mereka, pernikahan mereka. Cih! Tak ada satupun dari list pertanyaan itu yang bisa Emily jawab dengan rasa bangga.
Kehidupannya terlalu normal, terlalu biasa.
Suatu hari setelah lewat dari tanggal undangan, Emily berjalan disatu pasar tradisional. Emily berjalan menyusuri gang kecil namun padat akan pembeli. Ia menutupi hidungnya dengan kerah jaketnya karena bau. Disatu tempat yang agak lengang, ia melepaskan kain jaketnya dari hidungnya, tidak terlalu bau, pikir Emily. Emily mendapati satu laki-laki berkulit coklat, tidak terlalu tinggi, sama sekali tidak ada hal yang menarik dari pria ini, menurut Emily, tapi pria ini memperhatikan Emily dengan tatapan tertarik yang membuat Emily jijik. Emily jalan lebih dalam, mencari apa yang ingin ia beli.
Emily pulang melewati jalan yang sama, tidak sengaja ia melihat satu meja yang menjual pernak-pernik wanita. Emily hendak membeli ikat rambut, jadi ia mampir. Hanya dalam itungan detik, Emily memilih satu ikat rambut polos, tapi ia tidak menemukan penjualnya, jadi ia bertanya pada ibu penjual, disebelah meja itu.
"Bu, kemana yang jualnya?"
Ibu itu langsung memanggil laki-laki, yang sedang bersandar disatu tiang.
Ah, sial!
"Ini berapa?" tanya Emily tanpa memandang laki-laki itu, malas rasanya.
"Seribu saja. Kamu dulu sekolah di SMP XX, ya?" ucapnya langsung tembak.
Ha? Emily langsung menatap mata laki-laki itu. "Iya, kau tahu?"
"Masih inget saya, ga?"
Emily memicingkan mata, mencoba mengingat-ingat. "Aduh, lupa saya."
"Ah, padahal kita satu kelas, lho," jawabnya tersenyum.
"Masa sich?"
"Iya, coba inget-inget lagi. Inget sama Bayu, ga?"
"Bayu yang orang Bali itu bukan?"
"Ga tau dech dia orang mana? Emang dia orang Bali ya?"
"Ya, saya sich cuman inget sama Bayu yang orang Bali itu, yang kalo apa-apa ngomongnya selalu ada akhiran H. Terkenal karena itu kan dia?"
Laki-laki itu tertawa. "Ga tau malah saya."
"Udah merid kamu?"
"Udah, anak satu. Kamu?"
Emily geleng-geleng kepala sambil tersenyum malu. "Namanya siapa?" tanya Emily
"Erick. Sok coba inget-inget," lanjut laki-laki itu dengan aksen Sunda yang kental.
"Erick. Sok coba inget-inget," lanjut laki-laki itu dengan aksen Sunda yang kental.
Emily kembali terlihat menerawang, memperhatikan wajah laki-laki bernama Erick itu.
"Ya udahlah, inget-inget ajah lagi dirumah," lanjutnya masih diakhiri tawa. Kata-katanya seperti mengakhiri percakapan. Maka, Emily mengeluarkan uang seribu rupiah, berterimakasih dan berpamitan.
Tepat ketika Emily keluar dari gang pasar itu, Emily ingat siapa Erick. Langkahnya terhenti, dan berniat kembali ketempat tadi dan bilang, "ah, saya inget kamu sekarang!" Tapi niatnya diurungkan, Emily kembali berjalan kearah pulang.
"Ya udahlah, inget-inget ajah lagi dirumah," lanjutnya masih diakhiri tawa. Kata-katanya seperti mengakhiri percakapan. Maka, Emily mengeluarkan uang seribu rupiah, berterimakasih dan berpamitan.
Tepat ketika Emily keluar dari gang pasar itu, Emily ingat siapa Erick. Langkahnya terhenti, dan berniat kembali ketempat tadi dan bilang, "ah, saya inget kamu sekarang!" Tapi niatnya diurungkan, Emily kembali berjalan kearah pulang.
Emily lalu mengingat-ingat masa SMP-nya. Erick duduk di dua kursi dibelakangnya ketika itu, dan Bayu menjadi penengah dengan duduk dibelakang Emily. Erick memang dari dulu kecil, seingatnya warna kulitnya tetap sama, coklat gelap, dan rambut bergelombang.
Emily merasa berdosa, dan malu pada dirinya sendiri karena sudah beranggapan kalau tatapan Erick sebelum mereka bersapaan, adalah tatapan laki-laki genit, Emily akhirnya sadar, itu adalah karena Erick merasa mengenal Emily.
Kemudian Emily bertanya-tanya, Erick ini tanpa rasa malu, menyapanya, mengajaknya berbicara, dan tidak terlihat minder sama sekali dengan profesinya yang hanya penjual aksesoris wanita dipasar tradisional yang notabene di Indonesia itu bau dan kotor.
Pekerjaan yang halal memang, Emily tahu itu, tapi...
Pada akhirnya Emily tahu, ia terlalu melihat keatas, tidak melihat kebawah. Untuk apa ia merasa minder pada teman-temannya yang bahkan belum bisa dikatakan benar-benar teman. Erick memberinya pelajaran ketika itu, hanya dalam waktu beberapa menit saja.