Thursday 27 September 2012

Teman yang Bisa Memberi Pelajaran

     Tepatnya pada satu minggu yang sama, Emily mendapatkan dua undangan; satu dari teman masa kuliahnya, satu lagi dari teman masa SMA-nya. Tanpa ragu, Emily memutuskan untuk tidak mendatangi kedua undangan tersebut. Lagipula, undangan-undangan yang sebelumnya pun tidak pernah ia datangi. Ia terlalu malu, karena ia melihat teman-temannya yang telah berhasil sedangkan apa yang sudah ia raih selama ini adalah kosong. Tidak lain hanya berstatus sebagai karyawan tidak tetap pada satu perusahaan swasta. Mungkin ia punya posisi yang cukup penting, tapi apalah artinya posisi penting pada satu perusahaan kecil saja. Dan lagi, apakah ia harus menggembar-gemborkan pada teman-temannya bahwa ia punya posisi penting itu ditempat kerjanya pada teman-temannya agar ia tidak malu, sedangkan nama perusahaannya saja, belum tentu orang kenal?

     Jadi Emily tetap tidak datang. Ia hanya bisa membayangkan kesenangan yang teman-temannya dapatkan ketika mereka berkumpul, tentang pertanyaan-pertanyaan standar dan bisa diperkirakan bakal dilontarkan dari satu teman ke teman lainnya, hingga Emily saja pun bisa menghafal jawabannya jauh-jauh hari. Tentang bagimana mereka bereuni masa lalu, saling flirting jika ada yg sama-sama single, saling membincangkan keberhasilan mereka dalam berkarir, keluarga mereka, atau calon pasangan mereka, pernikahan mereka. Cih! Tak ada satupun dari list pertanyaan itu yang bisa Emily jawab dengan rasa bangga.

     Kehidupannya terlalu normal, terlalu biasa.

     Suatu hari setelah lewat dari tanggal undangan, Emily berjalan disatu pasar tradisional. Emily berjalan menyusuri gang kecil namun padat akan pembeli. Ia menutupi hidungnya dengan kerah jaketnya karena bau. Disatu tempat yang agak lengang, ia melepaskan kain jaketnya dari hidungnya, tidak terlalu bau, pikir Emily. Emily mendapati satu laki-laki berkulit coklat, tidak terlalu tinggi, sama sekali tidak ada hal yang menarik dari pria ini, menurut Emily, tapi pria ini memperhatikan Emily dengan tatapan tertarik yang membuat Emily jijik. Emily jalan lebih dalam, mencari apa yang ingin ia beli.

     Emily pulang melewati jalan yang sama, tidak sengaja ia melihat satu meja yang menjual pernak-pernik wanita. Emily hendak membeli ikat rambut, jadi ia mampir. Hanya dalam itungan detik, Emily memilih satu ikat rambut polos, tapi ia tidak menemukan penjualnya, jadi ia bertanya pada ibu penjual, disebelah meja itu.

     "Bu, kemana yang jualnya?"
     Ibu itu langsung memanggil laki-laki, yang sedang bersandar disatu tiang.
     Ah, sial!
     "Ini berapa?" tanya Emily tanpa memandang laki-laki itu, malas rasanya.
     "Seribu saja. Kamu dulu sekolah di SMP XX, ya?" ucapnya langsung tembak.
     Ha? Emily langsung menatap mata laki-laki itu. "Iya, kau tahu?"
     "Masih inget saya, ga?"
     Emily memicingkan mata, mencoba mengingat-ingat. "Aduh, lupa saya."
     "Ah, padahal kita satu kelas, lho," jawabnya tersenyum.
     "Masa sich?"
     "Iya, coba inget-inget lagi. Inget sama Bayu, ga?"
     "Bayu yang orang Bali itu bukan?"
     "Ga tau dech dia orang mana? Emang dia orang Bali ya?"
     "Ya, saya sich cuman inget sama Bayu yang orang Bali itu, yang kalo apa-apa ngomongnya selalu ada akhiran H. Terkenal karena itu kan dia?"
     Laki-laki itu tertawa. "Ga tau malah saya."
     "Udah merid kamu?"
     "Udah, anak satu. Kamu?"
     Emily geleng-geleng kepala sambil tersenyum malu. "Namanya siapa?" tanya Emily
    "Erick. Sok coba inget-inget," lanjut laki-laki itu dengan aksen Sunda yang kental.
     Emily kembali terlihat menerawang, memperhatikan wajah laki-laki bernama Erick itu.
    "Ya udahlah, inget-inget ajah lagi dirumah," lanjutnya masih diakhiri tawa. Kata-katanya seperti mengakhiri percakapan. Maka, Emily mengeluarkan uang seribu rupiah, berterimakasih dan berpamitan.
    Tepat ketika Emily keluar dari gang pasar itu, Emily ingat siapa Erick. Langkahnya terhenti, dan berniat kembali ketempat tadi dan bilang, "ah, saya inget kamu sekarang!" Tapi niatnya diurungkan, Emily kembali berjalan kearah pulang.
     Emily lalu mengingat-ingat masa SMP-nya. Erick duduk di dua kursi dibelakangnya ketika itu, dan Bayu menjadi penengah dengan duduk dibelakang Emily. Erick memang dari dulu kecil, seingatnya warna kulitnya tetap sama, coklat gelap, dan rambut bergelombang.
     Emily merasa berdosa, dan malu pada dirinya sendiri karena sudah beranggapan kalau tatapan Erick sebelum mereka bersapaan, adalah tatapan laki-laki genit, Emily akhirnya sadar, itu adalah karena Erick merasa mengenal Emily.
     Kemudian Emily bertanya-tanya, Erick ini tanpa rasa malu, menyapanya, mengajaknya berbicara, dan tidak terlihat minder sama sekali dengan profesinya yang hanya penjual aksesoris wanita dipasar tradisional yang notabene di Indonesia itu bau dan kotor.
     Pekerjaan yang halal memang, Emily tahu itu, tapi...

     Pada akhirnya Emily tahu, ia terlalu melihat keatas, tidak melihat kebawah. Untuk apa ia merasa minder pada teman-temannya yang bahkan belum bisa dikatakan benar-benar teman. Erick memberinya pelajaran ketika itu, hanya dalam waktu beberapa menit saja.

Tuesday 25 September 2012

Ted - Diary Movie Review

Seriously, semua orang pasti tahu kalau film ini ga mungkin jadi film #1
Ya, pastilah, siapa juga yang bakal bilang kalau ini film bagus. Kamu mungkin? He? Iya kah?
Semua tergolong biasa saja, dari mulai sisi komedi, drama, klimaks, adegan tegang. Everything's is flat. Statusnya cuman... hmm, okelah gw tonton kalau emang gada film lain. Dan emang saya nonton ini karena gada film lain, hahaha...

Film ini, as we know, bercerita soal persahatan John Bennett (Mark Wahbelrg) sama Tedy (bear) yang emang cuman satu-satunya didunia. Nggak seperti image Teddy Bear yang manis, ini Ted adalah beruang yg guoblokk banget, doyan ganja, doyan sex, dan doyan party, sampai2 Lori Collins (Mila Kunis) pacarnya si Ted, harus ninggalin si John karena si Ted ini.

Kalau bukan karena pemainnya yg ganteng, Mark Wahlberg, dan si cantik Mila Kunis, mungkin bakal lebih ga seru lagi ini film. Jadi cuman dua orang itu yang bikin saya tertarik buat nonton.

What do you think?



Rate 1 - 5 : 2

Sunday 23 September 2012

LD Friend

Hey..jangan khawatir, aq ada disampingmu :)
Aq lihat air matamu itu, airmata yg kau korbankan demi seseorang
Tetaplah untuk tidak khawatir, karena aku akan menghapus air mata itu dengan tanganku sndiri
Aq berikan waktuku
Dan kita duduk bersama berbagi malam
Nich, pundakku untuk sandaranmu, karena pundakku sesakti alam semesta, bisa meringankan masalahmu
Aq akan merangkulmu, sebagai kata lain dari "semuanya akan dan pasti akan baik-baik saja"
Mulailah bersiap karena waktu akan terasa berjalan lama
Tanpa kau sadari, dalam waktu yg terasa lama itu, kau akan bertambah kuat
..dan bersinar
Hingga tak ada yg kau takuti lagi
Berhentilah berkata bahwa kau sudah bersikap memalukan karena merindukannya
karena yg aku tahu itu cerminan dari rasa sayangmu
Dan pada akhirnya kau tahu bahwa hal itu takkan kau lakukan lagi
Aq menyayangimu..
Biar mereka yang menyia-nyiakanmu pergi, mereka hanya tidak sadar mereka telah melepas satu kasih yg telah Tuhan ciptakan untuk mereka melalui kau
Sini, kupeluk dan kuusap halus tanganmu..

Everything's gonna be allright, my dear friend.

(Point to) send - klik
Sent from 173.219.xxx.xx to 192.168.1.1

Saturday 8 September 2012

Step Up Revolution - Diary Movie Review

     Siapa yang nggak muji sama gerakan-gerakan dari ide kreatif Jamal Sims, Christopher Scott, Chuck Maldonado dan Travis Wall (From : Wikipedia.org), semuanya kereeeeeeen... My favorite would be ... office-staff-ass performance, I like to call it that way since I dont know the name of that part.
     Karena film ini keluarnya deketan sama Street Dance, boleh lha ya saya banding2in sama film itu. Nggak seperti Street Dance 2, pelakon cowoknya kali ini ganteng (ketawa konyol) meskipun sama2 nggak diekspos cara pelakon utama cowok menari. Dikedua film ini, yang diekpos cara menarinya cuman cewek pelakon utama dan group, jadi bukan pelakon cowok. Soal cerita, Step Up Revolution ini payah, dan sangat mudah kebaca bagaimana endingnya. Mungkin karena terlalu fokus pada adegan dansa, hingga kualitas dramanya berkurang. Lain halnya dengan Stree Dance, dramanya dapet, dansanya juga dapet, tapi gerakan dansa emang lebih keren di Step Up ini, mungkin karena efek kuantitas penari juga ya.
     Performance klimaks dari film ini kereeen, banyak ide dimunculkan, saya juga suka pas adegan goret2 lantai sampai nimbulin percikan api (backsoundnya cocok dengan lagu Katy Perry - Fireworks, hahahaa). Tapi kalau boleh kritik sich, ini adalah performance yang terlalu banyak ide. Fokus hanya pada 2 atau 3 ide mungkin bisa menjadikan performancenya lebih terkonsentrasi (saya nggak tahu maksud saya apa, tapi semoga yang baca, ngerti. Pun kalau ada yang baca). Dibilang berantakan, nggak juga sich. Mungkin kurang terintikan ajah maksud saya, biar lebih padat dan pas.

Rate 1 - 5 : 5

Step Up Revolution "Office Mob" Extended Clip Official 2012 [HD 1080]


Favorite Mob Dance Performance (How I wish I could grab the dollars)




Gone - Diary Movie Review

     Si mata belo Amanda Seyfried ini selalu keren, saya suka sama wajahnya yang khas. Ceritanya dia bertarung dengan situasi sulit sendiri, untuk menemukan kakak satu2nya yang diculik orang. Tonton film ini dari awal sampe hampir ke klimaks itu seru dan lumayan tegang, pas bagian klimaks, gariiiink (kecewa.com). Apa sang produser dan/atau sutradaranya kaga ngeuh gitu dengan klimaksnya yang saya bilang sich mengecewakan. Padahal karakter Amanda difilm ini keren lho. Ketegangan diklimaks cuman dikasih sedikit.
     Dan ada Wes Bentley si muka dingiiiin... perannya disini dikasih dikit doank, sangat-sangat kurang, padahal kalau dikasih lebih, bakal oke nich film, setidaknya menurut saya. Saya nonton film ini di dvd, pas awal-awal nonton sich beranggapan kalau film ini cocok ditonton di bioskop, karena lumayan tegang, tapi menjelang akhir, waduuh...untung juga nontonnya kaga dibioskop. Jadi apa harus nonton setengah dibioskop, setengah di dvd gitu?



Rate 1 - 5 : 2,5 
(boleh duuunk, pake koma)

The Four - Diary Movie Review

     Nggak kedengeran gemanya film ini, kayaknya film yang berasal dari China yang ditayangin di 21 / XXI nggak banyak diminati Orin alis Orang Indonesia (bikin singkatan seenaknya), kecualiiii...film2 yang dibintangin pemain2 terkenal, kek Chen Lung (Jackie Chan), Lee Lian Ji (Jet Li), Liu De Hua (Andy Lau), dll...baru dah diminati.
     Film ini cukup seru, nggak masalah kalau nontonnya di dvd, jadi nggak mesti dibioskop. Film ini nggak ubahnya kek film2 polisi jaman sekarang, dimana ada proses penyelidikan ala detektif, penunjukan identitas polisi ketika mau check sana-sini, dll (dan lupa lagi). Disini Collin Chou tatonya kereeeen banget, dan dia cool (pada awalnya sich), tapi begitu si Butterfly muncul, dia nggak ubahnya kek Ronald Cheng, konyol. Dan saya juga suka sama image Yi Fei Liu yang mirip banget sama Dian Sastro, cantik!
     Film, saya rasa sedikit kurang rapih ajah, ada beberapa hal yang kurang masuk akal (teknologi yang belum mungkin ada) tapi masih bisa diterima lha. Klimaks oke (sebenernya kurang tegang). Jadi mendingan nonton di dvd ajah dech, hahhahaha...

Rate 1- 5 : 2

Sunday 2 September 2012

(Another) Note of Hagrid

     Sekarang saya ingat bagaimana kami harus pindah meninggalkan sebagian saudara kami, keluar kota. Bagaimana kami diasuh oleh seseorang yang disewa, ketika Ayah pergi mencari nafkah, dan masih...disela-sela kesibukannya dengan ruang kerja yang dibuat khusus dirumah baru kami, dia mengajarkan kami membaca doa berbahasa Sansekerta dan mengajarkan perbedaan doa dalam bahasa Pali. 
     "Kalian duduk seperti ini," perintahnya lembut sambil duduk bersimpuh, membagikan kami secarik kertas yang sudah ia ketik dengan mesin ketiknya yang masih mulus hingga detik ini, dalam beberapa kertas, dan ia bagikan kepada anaknya, dua diantaranya masih belum bisa membaca, tapi mereka tetap mengikuti ucapan doa Ayah sebaris demi sebaris.
     Lalu kami tidak sabar menunggu Ayah pulang dihari Sabtu, dimana ia pulang lebih awal, dan kami merindukannya. Kamipun merindukan oleh-oleh yang sering Ayah bawa pulang dihari Sabtu. Ia biasa membelikan makanan, roti, coklat tabur, susu, dan makanan kecil lainnya.
     Satu bulan sekali, ia pulang ke kampung halaman yang sebenarnya lebih tepat dikatakan kota halaman, karena tempat yang kami tinggali ketika itu tidak lebih dari sebuah desa berkembang. Ia menjenguk sebagian anaknya yang tinggal dikota yang berbeda. Anak-anak cowok yang cenderung ingin bertindak nakal diusianya, hanya terawasi sebulan sekali saja, alhasil kadang ada saja masalah yang membuat Ayah lebih sering melamun untuk mencari jalan keluar. Ini membuat aku berpikir, apakah ia pernah menyesal punya banyak anak hingga ia mengalami kesulitan membesarkan seorang diri? Apakah larangannya pada saya tentang tidak mengambil pasangan dari suku tertentu merupakan refleksi dari penyesalannya dahulu?
     Sedikit demi sedikit kenangan itu muncul, tentang bagaimana masa kecil kami, tentang bagaimana Ayah bertindak, dan kami baru menyadari alasannya sekarang. Kami begitu naif pada waktu itu, karena tidak ada yang mengajari kami bahkan cara menggosok gigi yang baik, dan itu bukan kesalahannya. Kami hanya berada pada situasi yang tidak baik. Kami memahami bagaimana heroiknya tindakan Ayah kami, bagaimana kerasnya ia hingga mempengaruhi pola pikir kami, dan bagaimana menyedihkannya ketika ia harus mengambil satu keputusan yang sulit, mengorbankan waktu, tenaga, dan materi.
     Ketika kehidupan asmara mempengaruhi kehidupan saya, saya mendapat pengalaman menyakiti dan disakiti. Itu semua pelajaran untuk menguatkan hati. Orang-orang yang lewat dan memberi luka, adalah guru dalam bentuk lain saja, jadi terimakan pelajaran itu. But crap! Persetan itu semua! Apa artinya sakit hati urusan asmara macam umur-umur muda dibandingkan masa-masa kami, masa "Our Dad, Our Hero", yang menjadikan anak saya akan lebih menghormatinya daripada saya, ibunya sendiri.