Sunday, 2 September 2012

(Another) Note of Hagrid

     Sekarang saya ingat bagaimana kami harus pindah meninggalkan sebagian saudara kami, keluar kota. Bagaimana kami diasuh oleh seseorang yang disewa, ketika Ayah pergi mencari nafkah, dan masih...disela-sela kesibukannya dengan ruang kerja yang dibuat khusus dirumah baru kami, dia mengajarkan kami membaca doa berbahasa Sansekerta dan mengajarkan perbedaan doa dalam bahasa Pali. 
     "Kalian duduk seperti ini," perintahnya lembut sambil duduk bersimpuh, membagikan kami secarik kertas yang sudah ia ketik dengan mesin ketiknya yang masih mulus hingga detik ini, dalam beberapa kertas, dan ia bagikan kepada anaknya, dua diantaranya masih belum bisa membaca, tapi mereka tetap mengikuti ucapan doa Ayah sebaris demi sebaris.
     Lalu kami tidak sabar menunggu Ayah pulang dihari Sabtu, dimana ia pulang lebih awal, dan kami merindukannya. Kamipun merindukan oleh-oleh yang sering Ayah bawa pulang dihari Sabtu. Ia biasa membelikan makanan, roti, coklat tabur, susu, dan makanan kecil lainnya.
     Satu bulan sekali, ia pulang ke kampung halaman yang sebenarnya lebih tepat dikatakan kota halaman, karena tempat yang kami tinggali ketika itu tidak lebih dari sebuah desa berkembang. Ia menjenguk sebagian anaknya yang tinggal dikota yang berbeda. Anak-anak cowok yang cenderung ingin bertindak nakal diusianya, hanya terawasi sebulan sekali saja, alhasil kadang ada saja masalah yang membuat Ayah lebih sering melamun untuk mencari jalan keluar. Ini membuat aku berpikir, apakah ia pernah menyesal punya banyak anak hingga ia mengalami kesulitan membesarkan seorang diri? Apakah larangannya pada saya tentang tidak mengambil pasangan dari suku tertentu merupakan refleksi dari penyesalannya dahulu?
     Sedikit demi sedikit kenangan itu muncul, tentang bagaimana masa kecil kami, tentang bagaimana Ayah bertindak, dan kami baru menyadari alasannya sekarang. Kami begitu naif pada waktu itu, karena tidak ada yang mengajari kami bahkan cara menggosok gigi yang baik, dan itu bukan kesalahannya. Kami hanya berada pada situasi yang tidak baik. Kami memahami bagaimana heroiknya tindakan Ayah kami, bagaimana kerasnya ia hingga mempengaruhi pola pikir kami, dan bagaimana menyedihkannya ketika ia harus mengambil satu keputusan yang sulit, mengorbankan waktu, tenaga, dan materi.
     Ketika kehidupan asmara mempengaruhi kehidupan saya, saya mendapat pengalaman menyakiti dan disakiti. Itu semua pelajaran untuk menguatkan hati. Orang-orang yang lewat dan memberi luka, adalah guru dalam bentuk lain saja, jadi terimakan pelajaran itu. But crap! Persetan itu semua! Apa artinya sakit hati urusan asmara macam umur-umur muda dibandingkan masa-masa kami, masa "Our Dad, Our Hero", yang menjadikan anak saya akan lebih menghormatinya daripada saya, ibunya sendiri.

2 comments: