Wednesday, 7 March 2012

Sudden Broken

Aku biasa dengan pelukan orangtuaku ketika aku mendapatkan nilai bagus setelah ujian semesterku. Aku biasa bertanding soft ball dengan disaksikan orangtuaku. Aku biasa bercanda setiap malam dengan orangatuaku dan adik kecilku, Amber yang masih berusia 3,5 tahun.
Tiba-tiba, suatu hari orangtuaku memanggilku. “Toni, kita harus bicara”.
Saat itu semuanya terasa jungkir balik. Orang tuaku akan segera bercerai. Mereka bercerai? Mungkin aku salah dengar. Atau mungkin mereka hanya bercanda. Ini pasti lelucon. Saat itu harusnya aku menerima fakta, aku malah tidak mau menerimanya dan mengingkarinya.
Aku tidak pernah melihat adanya suatu masalah pada orangtuaku. Mereka jarang bertengkar, mereka terlihat rukun. Atau mereka hanya terlihat pura-pura rukun didepan kami.
Bercerai atau tidak, teganya mereka melakukan ini padaku dan Amber.
“Mereka tidak memikirkan kita, Amber”, bisikku pada Amber yang sedang bermain boneka. “Mereka egois. Mereka hanya memikirkan diri mereka sendiri”.

“Mau kemana, Toni?”, Tanya Ibuku. Waktu itu jam 9 malam. Dia melihatku membawa tas.
“Rumah teman”, jawabku singkat. Aku langsung pergi karena aku tidak mau ada pertanyaan kedua. Saat ini aku tidak mau dekat-dekat dengan orangtuaku. Entah dengan siapa nanti aku akan tinggal. Ayah masih tinggal dirumah. Mereka akan memulai proses perceraian beberapa hari kemudian.
Aku pergi kerumah Hawk. Disana teman-temanku yang lain juga sedang berkumpul. Aku sebenarnya naksir Aniston, cewek cheers yang punya mata dan rambut berwarna cokelat. Dia sangat lucu, dan dia akan ikut bergabung bersama kami malam ini, dan teman cewek lainnya. Tapi begitu melihat dia, rasanya aku tidak bisa memikirkan apa-apa. Rasa sukaku hilang. Sama sekali tidak ada perasaan.
Malam itu kami bersenang-senang. Kami tertawa, main games, minum minuman beralkohol ringan, berkelahi sambil bercanda, dan saling beradu lelucon. Sejenak aku bisa melupakan kekesalanku pada suasana rumah yang muram. Tapi semakin berlalunya waktu, satu per satu teman-temanku mulai letih dan tertidur. Hanya tinggal aku dan Hawk. Waktu sudah menunjukan pukul 3 dini hari.
“Kau mau tidur, toni?”, tanya Hawk.
“Sepertinya aku tidak akan bisa tidur”.
“Kau punya masalah, ya?”.
“Tidak. Aku hanya tidak bisa tidur. Itu saja”.
Hawk diam sejenak, lalu bangkit dari sofa. “Ayo! Ikut aku kebawah”.
Dengan malas aku mengikuti Hawk, menuju dapur. Hawk membuka lemari dapur yang terletak diujung ruangan. Dia mengeluarkan sebuah botol.
“Kau mau minum ini?”, tanya Hawk.
Aku memperhatikan botol itu. Tingkat alkoholnya cukup untuk dengan cepat membuatku mabuk, mengingat aku tidak pernah minum yang seperti ini.
“Ya, aku mau”.

“Hey, Toni! Bangun!”.
Aku membuka mataku perlahan. Sinar matahari yang masuk lewat jendela terasa lebih silau dari biasanya. Aku masih dirumah Hawk.
“Jam berapa ini?”, tanyaku masih sangat lemas.
“Jam 10”, ternyata Dylan, temanku yang lain yang membangunkanku. Untung hari ini hari Minggu, kalau tidak aku tidak akan bisa masuk sekolah.
Aku memutuskan untuk bangun. Tapi kepalaku terasa berat dan pusing. Pusing sekali sampai aku harus memejamkan mata untuk menahan sakitnya. Aku langsung bergegas ke kamar mandi untuk cuci muka. Aku berpapasan dengan Aniston. Dia memperhatikanku dan sepertinya tahu kalau aku mabuk berat. Tapi aku tidak perduli. Aku langsung ke kamar mandi dan menyegarkan tubuhku.
Siang itu aku pulang. Ayah tidak tahu ada dimana. Sedangkan Ibuku sedang mengatur tanaman. Itu hobinya.
“Darimana kau, sayang?”, taanya Ibu dengan keramahan yang biasa aku dapati. Walaupun keramahan itu tetap ada, entah kenapa aku tidak merasakannya. Dan aku tidak mau ada didekatnya. Aku menjawab sambil pergi masuk, “rumah Hawk”.
Jam 1 siang itu aku pergi ke sekolah, untuk latihan soft ball. Biasanya permainanku cukup bagus, tapi hari ini jelek sekali. Mr.Edward, pelatihku sampai harus menegurku berkali-kali.
“Hey! Ada apa?”, tanya Hawk menepuk bahuku disela latihan.
“Tidak ada. Hanya kurang konsentrasi saja”, jawabku mengalihkan pandang dari Hawk. Aku tidak ingin Hawk tahu masalahku.
Pulang latihan, Hawk mengajaku kerumahnya. Aku setuju saja karena memang aku tidak ingin pulang.
“Kau mau ikut denganku?”, Tanya Hawk dengan seringai misterius.
“Kemana?”.
Lalu Hawk mempelihatkan 2 buah tiket nightclub.
“Kau dapat darimana? Kita kan masih dibawah umur”, tanyaku heran.
“Oh, Toni. Kita kan hampir 17 tahun. Tidak ada salahnya kan, kita mencoba sesuatu. Nanti akan kita alami juga”.
Aku tidak menjawab ragu.
“Ya sudah kalau kau tidak mau. Akan kuajak yang lain”.
“Tunggu, tunggu!”, aku mencekal lengan Hawk. “Ok, aku ikut”.
Hawk tersenyum puas.
“Siapa saja yang ikut”, tanyaku.
“Dylan dan Bobbie. Kita berempat”.
Hari itu aku tidak pulang kerumah. Aku juga tidak menelpon kerumah. Malamnya aku langsung pergi bersama 3 temanku yang lain. Disana kami kembali bersenang-senang. Kami menggoda para cewek sambil tertawa dengan keras. Aku minum minuman keras lagi. Aku terparah dari yang lainnya, sampai mereaka harus memapahku ketika pulang.
Karena mabuk aku bangun kesiangan, dan akhirnya aku tidak sekolah. Dylan dan Bobbie sepertinya sudah pulang. Atau mereka kesekolah, aku tidak tahu. Hawk masih terkulai di tempat tidurnya.
Aku bangun, dan duduk sebentar untuk menyeimbangkan pikiran dan tubuhku. Saat itu tiba-tiba saja aku merasa sendiri. Pestaku semalam hanya sia-sia saja. Tidak membuat perasaanku menjadi lebih baik.
Beberapa jam kemudian Dylan dan Bobbie datang membawakan makanan. Hawk memang tinggal sendiri. Mereka bertanya sambil tertawa. “Bagaimana tidurmu? Kau muntah tidak?”, tanya Dylan.
“Tentu saja aku muntah. Kau sekolah?”.
“Ya. Aku dan Bobbie kesekolah. Ada yang titip salam untukmu, Toni”.
“Siapa?”.
“Aniston! Haha..huuuu”, Dylan dan Bobbie berhigh-five sambil tertawa-tawa. Aku tidak tahu apa yang lucu. Aku tidak mood untuk mengikuti kekonyolan mereka.
Ayahku sedang ada diruang tamu ketika aku pulang.
“Darimana kau, Toni?”. Aku tahu dia kesal, tapi dia berusahaa memendam kekesalannya.
“Rumah Hawk”, aku langsung menaiki tangga. Kepalaku masih pusing karena mabuk semalam. Tanpa pikir apa-apa lagi aku langsung tidur.
Jam 9 malam, Hawk menghubungiku. Dia kembali mengajakku ke night club. Aku menolak. Aku sendiri merasa tidak enak pada orangtuaku, meskipun aku masih membenci mereka. Bahkan aku masih belum tahu alasan kenapa mereka bercerai.
Aku turun kebawah. Aku melihat Ayah dan Ibuku mengantarkan seorang tamu, pria berdasi lengkap dengan jasnya.
“Surat perceraian Anda akan saya antarkan beberapa hari kemudian. Sampai saat itu, kami menganjurkan agar Anda benar-benar memikirkan perceraian ini kembali. Siapa tahu, Anda berniat untuk rujuk kembali”.
“Terimakasih. Tapi kami sudah benar-benar matang memikirkannya”, ucap Ayahku didukung oleh senyum Ibuku.
Mereka telah memprosesnya. Ya Tuhan, mereka telah memprosesnya.
“Hawk, ini aku”, sapaku ditelepon. “Aku ikut denganmu ke Night Club”.
Setelah itu, aku diam-diam pergi dari rumah. Saat itu pukul 11 malam. Orangtuaku sepertinya sudah tidur.
Dan inilah aku, ditengah bisingnya suara, ditengah kerlipan lampu yang membuat mataku pusing, diantara ramainya orang-orang yang kesepian. Minuman keras sudah menjadi temanku sekarang. Tapi aku masih belum bisa melupakan kejadian tadi.
“Hei, Toni! Kau mau coba ini?”, Hawk memperlihatkan beberapa butir pil ditangannya. Dylan dan Bobbie melihatnya, dan mereka terkejut. Aku juga terkejut, tapi tanpa pikir panjang aku ambil 1, dan langsung menelannya dengan minuman kerasku. Aku bisa melihat keterkejutan Dylan dan Bobbie melihatku.
Aku mulai lupa semuanya. Tidak ada beban, terasa ringan. Sedikit demi sedikit, rasa senang mulai menjalar di pikiranku, dan aku tidak ingat apa-apa lagi, sampai ada seseorang yang membangunkanku.
“Toni, bangun! Hey! Ayo bangun!”, Dylan membangunkanku.
“Hmmrgh.., ada apa?”, tanyaku enggan membuka mata.
“Ini telepon dari Ibumu”.
Dengan malas aku mengambil gagang telepon dari tangan Dylan. Aku sudah ada dirumah Hawk saat itu. “Halo..”.
“Halo, Toni? Ya, ampun! Kau membuat kami cemas. Kau pergi tanpa pamit”.
“Oh. Iya, maaf”, jawabku terkantuk-kantuk.
“Jam berapa kau akan pulang, sayang?”.
“Entahlah”, aku melihat jam dinding. Astaga! Sudah jam 2 siang.
“Kau tidak sekolah?”.
“Tidak. Aku bergadang semalam. Jadi aku masih ngantuk”.
“jadi nanti…”
“Bu, sudahlah! Aku mau tidur lagi. Pokoknya nanti aku pulang. Tidak usah khawatir”.
“Oh, baiklah kalau begitu. Sampai nan…”.
Aku langsung memutuskan saluran dan kembali tidur. Kepalaku lagi-lagi pusing.
Hari itu aku tidak pulang kerumah. Aku juga tidak pergi ke Night Club lagi. Tapi aku pergi berpesta bersama Hawk dirumah temannya. Dylan dan Bobie tidak bisa ikut. Aku rasa mereka memang tidak mau ikut.
Kebanyakan, orang yang datang ke pesta itu membawa pasangan masing-masing. Tapi aku tidak ada hasrat untuk itu. Setiap kali pikiranku melayang pada orangtuaku. Dan semakin aku mengingat mereka, semakin ingin aku menenggelamkan diri pada minuman keras, dan lama-kelamaan, obat.
Dan aku melakukannya malam itu. Teman Hawk mengantarku sampai kerumah pagi-pagi sekali. Dengan berjalan sempoyongan aku berusaha keras menaiki tangga dan sampai di kamarku. Aku tidak menyangka jarak menuju kamarku terasa jauh sekali.
Aku tertidur.
Jam 3 sore, aku bangun dan turun kebawah. Dipertengahan tangga Ayah muncul.
“Toni, kurasa kita perlu bicara”,
Kepalaku masih pusing. Aku menggosok wajahku dengan tangan kananku supaya lebih bisa terfokus. “Bicara apa?”.
“Turunlah kebawah”.
Sejenak aku mematung disitu. Pasti orangtuaku berniat untuk membicarakan kelakuanku yang semakin aneh, dan aku sangat tidak mau untuk membicarakannya. Yang aku tidak inginkan saat ini adalah diatur.
“Aku mandi dulu, Yah”.
“Baik. Ayah akan menunggumu didepan”.
Setelah itu aku mandi. Setelah mandi aku pergi ke kamar dan kabur lewat jendela. Aku membawa pakaian seadanya. Aku pergi ke rumah Hawk.
“Hey, buddy! Ada apa? Kau tampak kusut”.
“Boleh aku bermalam disini Hawk?”.
“Tentu saja. Kapan saja boleh, my friend”.
1 minggu aku tidur dirumah hawk. 1 minggu aku tidak pulang dan tidak sekolah. Orangtuaku mencariku ke rumah Hawk Tapi Hawk tidak memberitahu kalu aku ada disitu. Tentu saja aku yang memintannya.
Selama 1 minggu itu aku semakin terbiasa dengan minuman keras dan obat-obatan. Hawk punya banyak teman. Selalu saja ada temannya yang berpesta. Kalau tidak, kami pergi ke Night Club. Aku semakin dikenal dimana-mana.
Setiap hari pula aku muntah, sakit kepala, dan daya ingatku seamakin memburuk. Mulutku bau dan aku jarang mandi. Tapi aku rindu rumah.
Aku meminjam mobil teman Hawk. Selama beberapa jam, aku didalam mobil, mematung diseberang rumahku. Perasaan antara ingin masuk dan tidak. Aku melihat Ibuku keluar kembali menata tanamannya.
Tidak lama kemudian sebuah mobil datang. Keluarlah seorang pria dari mobil itu, yang pernah aku lihat sebelumnya.
Dia menyapa Ibu. Tidak lama Ayah keluar dan mereka masuk bersama. Aku ingat, dia adalah pengacara yang orangtuaku sewa untuk proses perceraian mereka. Mereka jadi bercerai tentunya.
Hasratku untuk masuk kerumah hilang. Rumah kembali terlihat sepeti neraka. Aku kembali ke rumah Hawk dengan kecepatan mobil yang cukup tinggi.
Malamnya, aku lagi-lagi berpesta. Pesta tergila yang pernah aku alami. Aku minum banyak sekali. Aku tertawa dan berteriak sejadinya, dan mengucapkan kata-kata kotor dengan keras.
“Hey! Ayo kita lakukan sesuatu yang berbeda. Sesuatu yang agak berani”, teriak Hawk didepan semua orang dengan seringai yang licik.
Semua ribut bertanya.
“Aku punya ini”, Hawk memperlihatkan bungkusan kecil transparan. Didalamnya ada sekitar 50 pil obat terlarang.
Semua bersorak senang.
“Tunggu dulu, tunggu dulu. Aku akan mengadakan lomba. Siapa yang paling banyak mengkonsumsi obat ini”, lalu Hawk memperlihatkan uang yang digulung melingkar. “Dia akan mendapatkan 500 dollar”.
Semua kembali bersorak.
Lalu Hawk berteriak. “Ayo! Siapa yang mau ikut?”.
8 orang maju termasuk aku, tentu saja. Masing-masing menelan 1 butir. Setelah beberapa menit 1 orang mundur. Pil kedua, 2 orang mundur. Aku menertawakan mereka yang hanya mampu menelan 2 butir pil. Menurutku itu tidak apa-apanya
Memasuki pil keempat, hanya tersisa 3 orang. Masing-masing bertahan sampai pil kelima. Dan aku tentu saja juaranya. Aku sudah tidak kuat, karena aku mabuk, dan 5 butir pil yang aku telan. Tapi aku berusaha bertahan.
Semua bersorak. Lagi! Lagi! Lagi!
Maka dengan kesombongan yang tinggi aku menelan 5 pil sekaligus. Semua bersorak lebih ramai daripada sebelumnya. Aku mengangkat tangaku, seolah aku juara sejati. Hawk melempar uangnya padaku, dengan senyum bangga.
Menit berikutnya, aku merasa sakit pada beberapa bagian tubuhku. Lama-kelamaan, sakitnya mulai terasa lebih. Aku sampai tidak kuat berdiri. Beberapa orang yang melihatku bingung karena aku diam dan wajahku pucat sekali. Suasana mulai hening.
Aku jatuh tidak sanggup berdiri. Terasa benar-benar sakit.
Aku terbaring dilantai. Kepalaku sakit sekali. Aku merasa tubuhku dijejali ratusan jarum. Tubuhku mulai bergerak, bergerak tanpa aku yang menggerakannya. Tubuhku bergerak sendiri. Aku kejang. Aku tidak bisa mengontrol tubuhku sendiri. Orang-orang disekelilingku mulai menjerit. Tidak ada yang menolongku. Aku mulai kehilangan kesadaran. Aku…
Tiiiiiiiitt…….

“Toni.., oh, Toni”, aku mendengar suara tangis Ibuku. Tapi aku tidak bisa membuka mataku. Aku tidak punya energi. Aku terbaring entah dimana. Badanku kaku dan sakit. Tapi aku bisa merasakan sentuhan tangan Ibuku. Dia sedang memegang tanganku.
Aku lelah. Aku kembali tidur.

“Toni..Toni!”, aku kembali mendengar. Itu suara adikku, Amber. Astaga! Aku benar-benar lupa tentangnya. Aku perlahan membuka mataku.
“Hey, Toni! Kau bangun?!?”, Amber tampak senang. Suaranya khas anak kecil, lucu sekali. “Lihat, aku punya apa!”, Amber membawa kue kecil. Ditengahnya berdiri 1 lilin berwarna merah.
“Happy birthday to you, happy birthday to you, happy birthday, happy birthday, happy birthday to youu..., selamat ulang tahun, Toni”.
Amber, adikku yang sangat kusayangi, yang hanya baru berusia 3,5 tahun. Bagaimana dia bisa mengingatnya. Aku tidak tahu ini hari apa dan tanggal berapa, tapi aku ingat bulan ini aku berulang tahun yang ke-17.
“Bagaimana kau tahu hari ulang tahunku, Amber?”.
Amber tertawa, polos sekali. “Kau kan kakakku”.
Aku meneteskan air mataku. Bagaimana mungkin…
“Ayo berdoa. Setelah itu kita tiup lilinnya”.
Saat itu aku ingin sekali membelai rambutnya dan memeluknya. Tapi rasanya aku masih belum punya cukup energi. Kemudian seperti tersadar aku melihat kesekeliling. Ternyata aku berada di rumah sakit. Tanganku diinfus. Apa yang terjadi padaku?
“Ayo kita berdoa bersama!”, uacap Amber membuyarkan lamunanku.
“Ayo”, lalu kami berdoa bersama. Aku melihat Amber menutup matanya. Aku menutup mataku kemudian.
Ketika aku membuka mataku, Amber sudah membuka matanya duluan. Dia tertawa memperlihatkan gigi-giginya yang kecil.
“Ayo kita tiup lilinnya! 1..2..3..”, aku dan Amber meniup lilin yang hanya ada 1 itu, lalu kami berdua tertawa.
“Apa keinginanmu , Amber?”.
“Supaya kau cepat sembuh. Dan apa keinginanmu?”.
Aku sama sekali tidak tahu apa yang aku inginkan. Keinginanku agar orang tuaku untuk rujuk sudah tidak ada. Aku pasrah. Dan setelah ini aku akan menjaga Amber. Pasti. Jadi keinginanku adalah, mungkin, hidup normal kembali bersama Amber, diluar perceraian orang tuaku. “Hmm.., makan coklat dan es krim yang banyak dirumah”.
“Wow! Sayang sekali, dokter bilang kau tidak boleh sembarangan makan. Jadi kue ini tidak bisa kau makan, Toni”.
“Tidak apa-apa. Setelah aku sembuh kita akan pesta cokelat dan es krim”.
Amber tertawa keras. “Horeee…aku mauuu”.
Ayah dan Ibu datang.
“Amber, kau tidak boleh berteriak-teriak disini!”, ucap Ibu. “ya Tuhan, Toni, kau sudah bangun?”.
Aku tersenyum. “Apa yang terjadi, Bu?”.
“Kau over dosis, sayang. Apa yang kau lakukan selama ini, Toni?”, Ibu mulai meneteskan air matanya.
“Maaf, aku membuat kalian semua cemas. Tidak akan aku ulangi lagi, aku janji”.
Ayah memegang bahuku lembut. “Kami juga minta maaf, Nak. Kami bersalah”.
“Kalian tidak perlu minta maaf padaku, dan tidak usah memikirkanku. Yang kalian cukup pikirkan adalah Amber. Bagaimana jadinya dia hidup tanpa salah satu dari kalian. Aku tidak pernah tahu apa masalah Ayah dan Ibu, dan sekarang aku tidak mau tahu. Tidak ada pengaruhnya untukku sekarang”.
Ibu menangis semakin keras. Amber celingak-celinguk tanpa mengerti apa yang kami bicarakan.
“Yang aku mau sekarang adalah menjaga Amber. Aku tidak mau dipisahkan dari Amber. Aku yang akan membuatnya mengerti kenapa orang tuanya bercerai pada saat usianya 4 tahun. Itu saja yang aku minta.
Kali ini Ayah meneteskan air mata. Aku tahu dia berusaha menahannya.
Life is a matter of choice. Hidup adalah tentang membuat suatu pilihan, pilih untuk menerima atau memungkiri. Tapi, menurutku kadang kau memungkiri, baru bisa menerimanya. Seperti aku.

No comments:

Post a Comment